Top_Menu

kantor-djp

DJP: Burung yang Ingin Terbang dengan Kaki Terikat

Masih ingat isu pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan? Berbagai pernyataan pro dan kontra yang pada awalnya mencuat terkait isu tersebut sempat berujung pada keputusan pemerintah untuk melaksanakan pemisahan tersebut pada tahun 2018 lalu. Namun bagaimana kabarnya sekarang? Apakah pemisahan ini tetap harus disuarakan? Dengan berbagai alasan kemandirian lembaga pemungut pajak dalam mengoptimalkan penerimaan negara sepertinya membuat isu ini tetap harus disuarakan. Namun, hal ini mungkin masih abu-abu di kalangan publik. Mengapa pemisahan ini harus terwujud?

Semua berawal dari ungkapan “DJP (Direktorat Jenderal Pajak) bagaikan buah yang diberi sekat untuk tumbuh sesuai dengan bentuk yang diinginkan, bukan tumbuh secara alami mengikuti bentuk aslinya”. DJP sebagai lembaga pemungut pajak yang seharusnya bisa bekerja lebih optimal, tidak mampu menunjukkan performanya yang demikian karena terkungkung dalam pagar yang mengelilinginya di lingkup Kementerian Keuangan. Alhasil, ketika target penerimaan pajak yang telah ditetapkan tidak tercapai, berbagai kecaman dari segala penjuru mulai dari masyarakat hingga instansi pemerintahan lainnya seolah membuat DJP menjadi kambing hitam dalam menjalankan tanggung jawab yang dibebankan pemerintah kepadanya. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam waktu sepuluh tahun terakhir, bahkan dalam tahun-tahun sebelumnya, Indonesia tidak pernah mencapai target penerimaan pajaknya (diolah dari NK APBN-P). Keterbatasan jumlah sumber daya manusia (SDM) dan anggaran seakan menjadi tembok penghalang bagi lembaga pemungut pajak ini dalam menjalankan tugasnya.

Keterbatasan jumlah pegawai pajak merupakan permasalahan utama yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak hanya memiliki sekitar 42 ribu pegawai (Biro SDM Setjen Kemenkeu, 2019) yang akan melayani sekitar 38 juta Wajib Pajak (WP) terdaftar (DJP, 2018) dari sekitar 264 juta jiwa penduduk (U.S. Census Bureau, 2019). Sedangkan apabila dibandingkan dengan Jepang yang hanya memiliki jumlah penduduk sebanyak sekitar 126 juta (World Bank, 2018), separuh dari penduduk Indonesia, Jepang memiliki jumlah pegawai pajak yang jauh lebih banyak dari pegawai pajak Indonesia (Sindonews, 2014). Direktorat Jenderal Pajak terus menyuarakan untuk dapat menambah jumlah pegawai pajaknya setiap tahun.

Bagaimana tidak? Hal ini bisa dikatakan sebagai hal yang sepele apabila memang seluruh WP di Indonesia secara patuh menjalankan hak dan kewajiban perpajakan mereka dengan sebagaimana mestinya tanpa harus dipaksa. Namun, kenyataannya sangatlah berbeda. “Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami”. Hal tersebut sangatlah sulit dapat terjadi. Tidak seluruh penduduk Indonesia yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dan dari jumlah WP yang memiliki NPWP tersebut pun tidak seluruhnya menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Di antara seluruh WP tersebut, ada yang memang tidak tahu mengenai ketentuan perpajakan sehingga mereka tidak tahu prosedur menjadi WP yang baik dan ada juga yang memang sudah tahu ketentuan perpajakan namun enggan melaksanakannya karena mereka menganggap pajak sebagai beban bagi mereka.

Bisa dibayangkan betapa beratnya tanggung jawab pegawai pajak baik dalam membina WP agar mereka dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya maupun dalam mengejar atau pun mengatasi WP yang enggan membayar pajak dengan segala bentuk penyimpangan seperti penghindaran dan pengelakan pajak yang dilakukannya baik untuk memperkecil jumlah pajak yang harus dibayar maupun untuk tidak membayar pajak sama sekali. Terdapat banyak halangan dan rintangan yang menghadang perjalanan pegawai pajak dalam menjalankan tugasnya, sehingga jumlah pegawai pajak yang memadai sangatlah diperlukan untuk dapat mengoptimalkan kinerja DJP dalam menangani jumlah WP yang banyak di negeri tercinta ini.

Mirisnya, permintaan DJP dalam menyuarakan permintaan pegawai pajak yang banyak tidak dapat dipenuhi oleh Kementerian Keuangan secara sepenuhnya. Hal ini mengingat telah mendominasinya jumlah pegawai DJP bila dibandingkan dengan jumlah pegawai Unit Eselon I Kementerian Keuangan lainnya. Keterbatasan jumlah SDM dalam DJP seolah merupakan salah satu konsekuensi yang harus ditanggung DJP sebagai bagian dari Kementerian Keuangan. Jumlah permintaan pegawai yang membeludak yang apabila dipenuhi oleh Kementerian Keuangan akan menyebabkan tidak proporsionalnya jumlah pegawai antar Unit Eselon I Kementerian Keuangan. Tentu persoalan ini menjadi dilema, di satu sisi DJP membutuhkan tambahan SDM, namun di sisi lain terbentur pada batasan proporsionalitas jumlah pegawai. Itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa DJP perlu dipisah dari Kementerian Keuangan dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden supaya batasan jumlah SDM tersebut dapat teratasi. Dengan terpisahnya DJP dari Kementerian Keuangan, DJP akan memiliki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan jumlah pegawainya, selain kemandirian anggaran dan pengelolaan kinerjanya.

Keterbatasan jumlah SDM bukan merupakan satu-satunya alasan yang melandasi pemisahan DJP. Anggaran yang memadai harus membarengi usulan penambahan jumlah pegawai DJP. Rekrutmen, pendidikan dan pelatihan, dan remunerasi pegawai yang terbilang besar merupakan gambaran kasar anggaran yang diperlukan. Apabila dibandingkan dengan Jerman, sebagai negara yang memiliki efektivitas kelembagaan perpajakan yang sangat optimal, yang memiliki rasio jumlah pegawai pajak terhadap jumlah penduduk sebesar 1:727, Indonesia sangat jauh tertinggal dengan rasio sebesar 1:6.280 (Misbakhun, 2018). Ketertinggalan ini dapat dikejar jika Indonesia mampu meningkatkan rasio jumlah pegawai terhadap jumlah penduduk dengan konsekwensi meningkatkan anggaran yang digelontorkan untuk DJP. Anggaran yang besar dan kompleksitas di DJP membutuhkan birokrasi yang ramping dan gesit sehingga cepat dalam mendukung pengambilan keputusan.

Bagaimana tuntutan tersebut dapat terwujud apabila Kementerian Keuangan akhir-akhir ini terus mengoordinasikan seluruh kementerian dan lembaga untuk mengoreksi belanja-belanja yang tidak perlu? Dalam kata lain, uang kas negara sedang dalam keadaan “kurang” untuk memenuhi kebutuhan belanja kementerian dan lembaga yang besar. Dengan tergabungnya DJP dalam Kementerian Keuangan, seluruh anggaran DJP diatur oleh Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan yang diberikan kuasa oleh Presiden sebagai pengelola fiskal (Pasal 6 ayat (2) UU Keuangan Negara) memiliki wewenang dalam mengatur penerimaan dan pengeluaran negara. DJP yang merupakan bagian dari Kementerian Keuangan dapat disebut sebagai pihak yang memakan getah dari wewenang tersebut. DJP juga terikat dengan pengeluaran negara. Ketika Menteri Keuangan melakukan pengetatan anggaran karena tidak tercapainya target penerimaan pajak, bagaimana bisa DJP menyuarakan permohonan penambahan anggaran?
Selain itu, pelaksanaan peran sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) yang dijalankan Menteri Keuangan yang tidak hanya mengelola penerimaan dan pengeluaran negara, namun juga “mencari uang” dianggap bukan merupakan fungsi sebenarnya dari bendahara pada umumnya. Pada umumnya, bendahara bertugas untuk mengelola penerimaan yang diterimanya dan mengatur pengeluaran, bukan untuk “mencari uang” sebagai penerimaannya. Dengan terpisahnya DJP dari Kementerian Keuangan, tidak ada lagi kata-kata “mencari uang” bagi Menteri Keuangan selaku BUN, melainkan hanya mengelola penerimaan yang diterimanya dari lembaga pemungut pajak dan mengatur pengeluaran negara.

Maka di tengah upaya reformasi perpajakan di bawah Presiden Jokowi, pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan patut disuarakan kembali sebagai bagian reformasi kelembagaan. Harapan ke depan, DJP mampu menjadi lembaga independen yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden demi mengoptimalkan kinerja DJP yang pada akhirnya juga akan berimbas pada kesejahteraan negara ini. Inti dari pemisahan ini terletak pada kemandirian DJP dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pemungut pajak. Direktorat Jenderal Pajak yang terpisah dari Kementerian Keuangan akan memiliki otoritas yang lebih luwes dalam menjalankan tugasnya sehingga dapat meningkatkan kinerja DJP itu sendiri.

Peru sebagai negara yang dianggap memiliki kondisi yang mirip dan setara dengan Indonesia telah beralih ke sistem kelembagaan pemungut pajak yang independen dan berhasil membuat performa otoritas perpajakan di 41 provinsinya yang menerapkan sistem tersebut menjadi lebih baik (Punditax, 2016). Jika Peru bisa, -dengan beberapa catatan yang perlu disesuaikan dengan kondisi Indonesia, mestinya kita pun bisa. Jikapun tidak bisa, setidaknya Direktorat Jenderal Pajak bukan seperti seekor burung yang ingin terbang namun kaki terikat. ”Jika ingin mencapai permukaan laut, maka lepaskanlah belenggu yang mengikat di kaki”, begitu kata orang bijak.

, , , , ,

Comments are closed.