Forum Pajak – Pada 13 April 2015, pejabat Gedung Putih buka-bukaan soal pajak Presiden Obama dan keluarganya. Dilaporkan, Obama telah membayar pajak sebesar USD 93,362 atau setara Rp 1,21 milyar untuk penghasilannya sepanjang tahun 2014 yang mencapai Rp 6,45 milyar. Pada kesempatan yang sama Gedung Putih tidak hanya membuka dan menyampaikan ke publik soal pajak Obama, Gedung Putih juga membuka sumber-sumber pendapatan Obama dan bisnis-bisnisnya, termasuk bisnis keluarganya.
Disebutkan, jumlah penghasilan bruto Obama yang sebesar Rp 6,45 milyar, Rp 5,13 milyar penghasilannya bersumber dari gaji sebagai Presiden Amerika Serikat. Sisanya berasal dari bisnis yang dijalankannya. Selain soal pajak penghasilan, Gedung Putih juga menunjukkan pajak atas rumah yang digunakan Obama yang mencapai Rp 294 juta. Sebagian pajak yang dibayarkan Obama, dialokasikan langsung pada program tunjangan kesehatan atau dikenal dengan Obamacare.
Dari negeri kita sendiri, Indonesia, pejabat-pejabat dan tokoh masyarakat yang telah melaporkan pajaknya telah mendapatkan tempat pemberitaan di berbagai media. Direktorat Jenderal Pajak juga memiliki program yang disebut Pekan Panutan Penyampaian SPT Tahunan setiap tahunnya. Pada bulan Maret lalu kita menyaksikan Presiden Joko Widodo menyampaikan SPT Tahunan PPh-nya. Setelah itu kita pun menyaksikan para menteri Kabinet Kerja ramai-ramai menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi 2014. Meski demikian, publik tidak dapat tahu berapa penghasilan Presiden dan berapa penghasilan para menteri, baik penghasilan dari gaji maupun penghasilan dari luar gaji. Contoh voluntary compliance soal pajak sebagaimana yang dicontohkan Obama belum dapat kita temukan di negeri kita sebagaimana terjadi di Amerika yang telah menunjukkan kepatuhan pajak tinggi.
Masih hangat di ingatan kita, pada awal April 2015, Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro menyampaikan persoalan rendahnya faktor kepatuhan pajak yang berujung pada tidak optimalnya penerimaan pajak pada triwulan pertama 2015. Merespon kekurangpatuhan wajib pajak, Menkeu menekankan perlunya tindakan tegas selain juga memberi bimbingan dan konsultasi. Hal ini senada dengan pendapat Sri Mulyani.
Jika menengok ke belakang, beberapa peneliti telah mencoba memetakan penyebab ketidakpatuhan wajib pajak. Allingham dan Sandmo (1972) menyebutkan, ketidakpatuhan pembayar pajak disebabkan oleh rendahnya pengawasan pemerintah serta kecilnya sanksi atau denda yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak patuh. Kemudian Lars P.Feld dan Bruno S.Frey (2007) menyebutkan, masyarakat kurang tertarik akan membayar pajak karena tidak adanya insentif langsung dari negara. Terlepas dari berbagai sebab ketidakpatuhan wajib pajak tersebut, sebagian besar solusi yang diajukan berupa tindakan tegas penegakan hukum (law enforcement).
Memang, berbicara soal pajak tidak dapat dipisahkan dari permasalahan hukum. Demikian juga berbicara soal kepatuhan pajak juga berbicara soal kepatuhan hukum. Kepatuhan hukum sendiri membutuhkan kesadaran hukum. Secara teori, kepatuhan hukum dan kesadaran hukum, dapat dibangun dengan tiga pendekatan: represif, preventif dan persuasif. Pendekatan represif (law enforcement) berdampak cepat meningkatkan kepatuhan hukum namun tidak berkontribusi baik dalam peningkatan kesadaran hukum. Dalam hukum pajak kita dapat ambil contoh tindakan paksa badan. Pendekatan preventif bersifat moderat. Pada pendekatan ini, pernyataan-pernyataan dalam peraturan perundang-undangan serta sistem di mana hukum berlaku memiliki peran penting dalam memberikan kepastian hukum. Dan pendekatan persuasif menekankan hubungan yang lebih intim antara penegak hukum dan masyarakat. Pendekatan ini tidak saja mencoba untuk membuat masyarakat patuh namun juga sadar hukum. Pendekatan persuasif membutuhkan kredibilitas tidak hanya aparat penegak hukum namun juga perangkat hukum yang ingin dipaparkan kepada masyarakat. Praktik hukum yang bersih dan transparan, tidak tajam ke bawah tumpul ke atas, aparat hukum yang kredibel dan kompeten, serta sistem yang handal adalah modal-modal yang dibutuhkan dalam pendekatan persuasif.
Apa yang dilakukan Obama sebagaimana ditulis pada awal artikel ini adalah sebuah tindakan persuasif yang sangat kuat. Sebagai pemimpin negara yang tahu betul arti penting pajak bagi jalannya pemerintahan, Obama menunjukkan banyak hal dalam tindakannya membuka laporan pajaknya. Ia tidak banyak mengumbar kata-kata himbauan, ajakan atau bahkan ancaman kepada pembayar pajak, tetapi ia telah berbicara soal imbalan pajak secara langung dengan adanya Obamacare. Ia juga menunjukkan kredibilitas sistem pajak yang tidak tajam ke bawah tumpul ke atas. Ia menunjukkan tidak ada seorang pun yang kebal hukum pajak termasuk Presiden sekalipun. Tindakan Obama juga sekaligus memberi jawaban atas hasil-hasil penelitian mengenai penyebab rendahnya kepatuhan pajak.
Pertanyaannya kemudian adalah beranikah pejabat di negeri ini, -legislatif, yudikatif maupun eksekutif, aparat penegak hukum (pajak) dan badan-badan usaha milik pemerintah menunjukkan voluntary compliance soal pajak, tidak sekadar secara formal namun juga material? Jika tidak berani, maka jangan berharap banyak akan adanya kepatuhan pajak yang baik dari masyarakat. Soal pajak, rakyat lebih butuh contoh dan bukti nyata daripada petuah-petuah bijak.
Comments are closed.