Salah satu instrumen untuk memperkuat kemandirian fiskal adalah dengan memperbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari pajak dan retribusi daerah. Oleh karena itu, local taxing power juga harus diperkokoh. Local taxing power merupakan salah satu pilar utama dari kemandirian fiskal daerah. Semakin besar kemampuan daerah dalam memungut pajak dan retribusi, semakin besar pula kemampuan daerah untuk membiayai kegiatan dan pembangunan tanpa terlalu bergantung pada pemerintah pusat.
Desentralisasi Fiskal
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dimaknai dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Pasal ini merupakan dasar konstitusional pemberian hak otonomi daerah. Hak ini lebih lanjut ditekankan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur sendiri pemerintahannya. Keputusan ini dibuat bukan tanpa alasan. Sejatinya, otonomi daerah merupakan buah demokrasi untuk mengatasi ketimpangan.
Jika menilik ke masa lalu, ketimpangan pembangunan adalah isu besar. Fokus pembangunan yang lebih condong ke Pulau Jawa meningkatkan ketegangan di daerah lain. Ketimpangan semakin terasa, ketika wilayah yang kaya sumber daya, seperti Aceh, Papua, dan Kalimantan, tidak mendapat manfaat, sementara kekayaan alamnya terus digerus. Ini bukanlah perkara yang mudah bagi bangsa Indonesia saat itu. Ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat memperburuk tensi politik. Pemerintah merasa perlu memberikan otonomi kepada daerah untuk mengelola kekayaannya. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal dianggap menjadi solusi untuk masalah ekonomi dan politik, serta memberi kesempatan kepada daerah untuk memanfaatkan potensi lokal (Bahl & Linn, 1992).
Urgensi Kemandirian Fiskal
Dua puluh empat tahun berlalu, sejak pertama kali diterapkan pada tahun 2001, desentralisasi fiskal mengalami pasang surut. Di satu sisi, pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengatur pemerintahannya. Di sisi lain, timbul masalah seperti meningkatnya korupsi, kolusi, dan nepotisme di kalangan pejabat daerah. Selain KKN, persoalan pelik lainnya terkait dengan kemandirian fiskal. Otonomi daerah bertujuan agar daerah dapat dengan mandiri membiayai dirinya. Masalahnya, sampai saat ini, daerah masih sangat bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat.
Sejak 2001 hingga 2020, transfer dana dari pusat ke daerah melonjak drastis tiap tahunnya, kecuali di tahun 2020 saat Covid-19 melanda. Dalam laporannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada tahun 2020 menyatakan bahwa dari 503 Pemda, sebanyak 88,07% atau 443 pemda masuk dalam kategori “Belum Mandiri” secara fiskal. Data ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah pusat.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana transfer terbesar yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah. DAU dialokasikan berdasarkan beberapa kategori, yaitu alokasi dasar dan kesenjangan fiskal. Alokasi dasar mencakup gaji pegawai negeri sipil daerah. Sementara, kesenjangan fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal dihitung berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Biaya Konstruksi (IKK), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, dan Indeks Pembangunan manusia (IPM). Kapasitas fiskal dihitung berdasarkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Dengan mekanisme ini, pemerintah daerah tidak perlu bersusah payah meningkatkan PAD-nya. Selama kebutuhan lebih tinggi dari kapasitas fiskal, pemerintah pusat akan terus membiayai pemerintah daerah. Tidak ada reward dan punishment ketika kapasitas fiskal tidak dimanfaatkan secara maksimal. Satu-satunya pendorong daerah untuk mandiri secara fiskal adalah Dana Insentif Daerah (DID). Dana ini digunakan pemerintah pusat untuk mendorong dan memberikan penghargaan pemerintah daerah yang berhasil mencapai kinerja tertentu. Mekanisme pemberian dana insentif daerah didasarkan pada laporan kinerja yang disampaikan oleh pemda. Namun, cara ini tidak cukup untuk memotivasi daerah.
Menilik postur transfer daerah di tahun 2023, proporsi DID hanya 0,9% dari total transfer. Angka ini sangat kecil dibandingkan dana lainnya. Kecilnya proporsi DID juga tidak memberikan insentif yang mendorong peningkatan PAD. Untuk memacu motivasi, transfer dana secara keseluruhan harus didasarkan pada kinerja fiskal daerah, bukan pada kebutuhan. DAU harus dialokasikan berdasarkan prestasi pemda dalam meningkatkan PAD-nya. Dengan demikian, pemda mau tidak mau harus memperbaiki local taxing power yang mereka miliki.
Belajar dari Amerika Serikat
Amerika Serikat adalah negara yang menerapkan mekanisme berbasis kinerja dalam transfer dana. Meskipun negara ini berbentuk federal, banyak pelajaran yang dapat dipetik dari proses transfer dana di Amerika. Sistem pendanaan federal di Amerika Serikat, yang mengalokasikan dana untuk pemerintah negara bagian dan lokal berdasarkan kinerja dan hasil spesifik, dikenal sebagai Performance-Based Funding (PBF) atau Outcome-Oriented Grants. Sistem ini menekankan hubungan langsung antara pendanaan yang diberikan dan kemampuan atau hasil yang dicapai oleh penerima dana.
Di Amerika Serikat, alokasi pendapatan umum (General Revenue) kepada pemerintah negara bagian dan daerah didasarkan pada tax effort. Tax effort adalah indikator yang mengukur sejauh mana suatu negara bagian atau daerah mengoptimalkan potensi pajak yang dapat mereka kumpulkan. Ukuran ini melihat perbandingan antara penerimaan pajak aktual yang dipungut oleh daerah dengan kapasitas pajak yang dimiliki daerah tersebut. Mekanisme ini mendorong negara bagian untuk mandiri secara fiskal. Sistem yang berbasis kinerja ini memberikan insentif bagi negara bagian yang telah menggali potensi pajaknya secara maksimal.
Apa yang perlu dilakukan Pemerintah Pusat?
Berbeda dari Amerika yang berbentuk federal, Indonesia adalah negara kesatuan. Artinya terdapat satu pemerintahan pusat yang berwenang mengatur seluruh wilayah. Oleh karena itu, andil pemerintah pusat juga akan menentukan local taxing power. Pemerintah pusat tidak boleh abai, melainkan harus membimbing dan bersinergi dengan pemda. Pada dasarnya, proses bisnis yang dijalankan oleh otoritas pajak pusat dan daerah hampir sama. Bahkan, subjek pajaknya juga sama, hanya saja dikenakan jenis pajak yang berbeda. Untuk itu, ada beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan acuan untuk membuat kinerja pajak pusat dan daerah lebih harmonis:
- Evaluasi Kinerja Pajak Daerah
Pertama-tama, pemerintah daerah perlu mengevaluasi kinerja perpajakannya. Ini adalah langkah yang krusial untuk melihat kelemahan dan kekurangan dari sistem yang ada. Banyak proses bisnis yang perlu ditinjau, mulai dari penentuan potensi pajak hingga penagihan dan penyitaan. Salah satu instrumen yang bisa digunakan oleh Pemerintah Daerah adalah SIKAP (Standar Indikator Kinerja Administrasi Pajak Daerah). Alat ini dapat mendeteksi masalah yang timbul dalam administrasi perpajakan daerah dan membantu merumuskan solusi atas masalah tersebut. Untuk itu, Kementerian Keuangan perlu memberikan bimbingan teknis dan sosialisasi terkait SIKAP agar pemda dapat mengevaluasi diri dengan alat ini. Ekstrimnya, Kemenkeu bahkan dapat mengharuskan setiap pemda untuk melampirkan laporan penilaian SIKAP sebelum pencairan dana tertentu. Mekanisme ini juga dapat menguatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah.
- Integrasi Data
Direktorat Jenderal Pajak dan Pemerintah Daerah harus mengintegrasikan basis data wajib pajak mereka. Inoperabilitas data harus ditingkatkan karena pada dasarnya baik DJP maupun aparatur pajak daerah mengenakan pajak ke subjek yang hampir sama. Pertukaran data ini dapat memperkaya profil wajib pajak sehingga analisis juga dapat lebih akurat. Hal ini juga akan sangat mengurangi biaya. Bayangkan betapa tidak efisiennya proses penagihan jika jurusita di DJP membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan lokasi wajib pajak di daerah terpencil. Padahal, wajib pajak tersebut kemungkinan besar dikenal oleh pemda dan masyarakat setempat. Jika data otoritas pajak daerah dan pusat terintegrasi, permasalahan seperti ini seharusnya bisa diatasi. Bahkan, pendekatan dalam proses penagihan pun dapat berjalan lebih mulus jika ada asistensi dari pemda. Pada hakikatnya, DJP dan Pemda memiliki tujuan yang sama, namun seringkali mereka memilih “kendaraan” yang berbeda untuk sampai ke tujuan. Dengan integrasi data, kita mendorong agar keduanya menggunakan “kendaraan” yang sama, menjadikan perjalanan mereka lebih lancar dan efisien.
Ada banyak cara untuk menguatkan local taxing power. Namun, saya rasa dua hal tersebut sangat cukup untuk menjadi langkah awal dalam mendorong local taxing power. Kemandirian fiskal bukan hanya soal angka atau kebijakan, tetapi tentang membangun masa depan yang lebih berkelanjutan untuk seluruh rakyat Indonesia. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus lebih dari sekadar ketergantungan. Setiap daerah memiliki potensi yang luar biasa, dan sudah saatnya mereka lebih mandiri dalam mengelola sumber daya mereka. Jika pusat dan daerah bisa berjalan berdampingan, menguatkan satu sama lain, maka impian akan Indonesia yang lebih sejahtera dan tangguh, dengan ekonomi yang lebih merata, bukanlah hal yang mustahil. Kemandirian fiskal adalah kunci. Jika kita semua saling bekerja sama untuk mencapainya, kita tidak hanya membangun daerah, tetapi juga negara kita tercinta.
Referensi:
- Kincaid, J. (1989). Fiscal Capacity and Tax Effort of the American States: Trends and Issues. Public Budgeting Finance, 9(3), 4–26.doi:10.1111/1540-5850.00825
- Laporan Hasil Reviu atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun 2020 (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia)
- Standar Indikator Kinerja Administrasi Pajak Daerah (Kementerian keuangan dan ADB)
- Two Decades of Fiscal Decentralization Implementation in Indonesia (Badan Kebijakan Fiskal dan USAID)
Comments are closed.