Beberapa hari lalu ramai di media soal kedatangan asosiasi petani tebu ke DJP untuk menolak dikenakannya PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas gula tebu kepada petani. Setidaknya ada beberapa informasi yang coba saya himpun dari sengkarut ini.
Dari berita yang saya tangkap, kelompok petani tebu meminta pemerintah untuk mencabut pengenaan PPN 10% terhadap komoditas gula. Menurut mereka, pajak ini (PPN) pada kenyataannya dikenakan dan menjadi beban petani, bukan pedagang gula. Argumentasi ini telah mereka sampaikan dengan mendatangi DPR maupun DJP.
Merespon polemik PPN atas gula/tebu , Menko Perekonomian menjelaskan bahwa pengenaan PPN atas gula/tebu merupakan konsekwensi logis dari dikabulkannya gugatan Kadin ke MA atas PP nomor 31 tahun 2007 yang menganulir barang hasil pertanian sebagai BKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN. (Putusan MA nomor 70P tahun 2013). Lebih lanjut Menko Perekonomian juga mengusulkan agar pemerintah mengenakan PPN final atas gula/tebu.
Sementara itu, menanggapi permintaan asosiasi petani tebu, Dirjen Pajak mengusulkan agar kelompok petani membentuk koperasi. Diharapkan melalui koperasi ini para petani bisa mendapat restitusi PPN. Ditegaskan juga bahwa penyerahan petani (atas tebu ataupun gula) tidak akan dikenakan PPN sepanjang omsetnya tidak melebihi 4,8 miliar per tahun.
Jika dicermati lebih lanjut, mekanisme transaksi antara petani tebu dengan pabrikan gula ternyata adalah bahwa penyerahan tebu oleh petani dibayar dalam bentuk gula, bukan dengan uang tunai. Petani menyerahkan tebu ke pabrik gula, lalu pabrik gula menyerahkan gula. Gula kembali dititipkan ke pabrik gula untuk dijual dan hasil penjualan ini yang kemudian diserahkan ke petani. Agak rumit dan sedikit aneh.
Masalah PPN atas Gula/Tebu
Jika kita kembali menengok ke belakang, sesungguhnya tebu (dan gula) sudah dikenakan PPN sejak Putusan MA nomor 70P/HUM/2013 yang berlaku sejak tanggal 22 Juli 2014. Lalu kenapa petani meributkan hal ini baru-baru saja?
Untuk membahas masalah PPN atas Gula/Tebu, ada baiknya kita menilik beberapa referensi yang relevan. Pertama adalah kategori barang kena pajak menurut UU PPN. Apakah gula/tebu merupakan barang yang menjadi obyek PPN? Jawabannya IYA. Menurut ketentuan Undang-Undang PPN, tebu, gula, dan produk antaranya, merupakan barang yang dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak menurut UU PPN. Dengan demikian maka setiap penyerahan tebu, gula, atau produk antaranya, yang dilakukan oleh Pengusaha (dalam hal ini termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak) menjadi terutang PPN.
Kedua, kita perlu memahami bahwa setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan yang terutang PPN, wajib memungut PPN dengan menerbitkan Faktur Pajak. Di sisi lain, Pengusaha yang memiliki omset tidak lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun, dapat memilih untuk tidak menjadi PKP. Dengan kata lain, jika petani tebu memiliki omset lebih dari 4,8 miliar per tahun, maka petani tebu tersebut sudah masuk kategori Pengusaha yang wajib menjadi PKP dan memungut PPN atas setiap penyerahan tebu yang dilakukan. Tetapi jika omsetnya tidak lebih dari 4,8 miliar per tahun, dapat memilih untuk tidak menjadi PKP sehingga penyerahan yang dia lakukan tidak perlu dipungut PPN.
Jika menilik pada mekanisme transaksi antara petani tebu dengan pabrikan gula sebagaimana diuraikan sebelumnya:… Petani menyerahkan tebu ke pabrik gula, lalu pabrik gula menyerahkan gula. Gula kembali dititipkan ke pabrik gula untuk dijual dan hasil penjualan ini yang kemudian diserahkan ke petani…, maka transaksi yang demikian dapat disebut tukar menukar atau transaksi barter. Sesuai dengan Undang-Undang PPN, transaksi barter merupakan transaksi yang terutang PPN di kedua pihak. Pengertian terutang di sini tetap harus memperhatikan apakah omset lebih dari 4,8 miliar per tahun atau tidak.
Jika petani tebu dan pabrikan sama-sama PKP, maka penyerahan tebu oleh petani dan penyerahan gula oleh pabrikan gula, sama-sama terutang PPN dan wajib dipungut PPN. Ilustrasinya kira-kira seperti ini: petani tebu menyerahkan 200 ton tebu senilai 120 juta rupiah kepada pabrikan gula (wajib dipungut PPN sebesar 10%). Kemudian pabrikan gula seminggu kemudian menyerahkan gula 12 ton senilai 120 juta rupiah kepada petani (wajib dipungut PPN sebesar 10%). Gula ini dititipkan kepada pabrikan untuk dijual kepada pihak lain. Sebulan kemudian gula terjual (wajib dipungut PPN sebesar 10%) dan pabrikan menyerahkan uang hasil penjualan sebesar 120 juta rupiah kepada petani.
Misalkan untuk melakukan penyerahan tebu sebanyak 200 ton tersebut, petani mengeluarkan biaya-biaya sebanyak 18 juta di mana Rp 10 juta merupakan pengeluaran yang ada Faktur Pajak PPN. Faktur Pajak Keluaran yang harus diterbitkan petani adalah 12 juta atas penyerahan tebu ke pabrikan dan 12 juta atas penyerahan gula kepada pihak lain. Faktur Pajak Masukan yang diperoleh petani adalah 12 juta atas perolehan gula dari pabrikan gula dan 1 juta dari biaya-biaya.
Dengan demikian, PPN terutang = 12 juta + 12 juta – 12 juta – 1 juta = 11 juta rupiah. Tetapi PPN ini ditanggung oleh pihak lain sebagai pembeli gula, sehingga bukan menjadi tanggungan petani. Sehingga laba sebelum PPh petani adalah = 120 jt – 18 juta (biaya-biaya yang dikeluarkan petani)= 102 juta.
Jika petani tebu belum menjadi PKP dan pabrikan merupakan PKP, maka penyerahan tebu oleh petani tidak dipungut PPN. Sedangkan penyerahan gula oleh pabrikan gula wajib dipungut PPN. Ilustrasinya kira-kira seperti ini: petani tebu menyerahkan 200 ton tebu senilai 120 juta rupiah kepada pabrikan gula (tidak dipungut PPN), kemudian pabrikan gula seminggu kemudian menyerahkan gula 12 ton senilai 120 juta rupiah kepada petani (wajib dipungut PPN sebesar 10%).
Gula ini dititipkan kepada pabrikan untuk dijual kepada pihak lain. Sebulan kemudian gula terjual (tidak dipungut PPN) dan pabrikan menyerahkan uang hasil penjualan sebesar 132 juta rupiah kepada petani (120 juta + 12 juta mark up PPN).
Misalkan untuk melakukan penyerahan tebu sebanyak 200 ton tersebut, petani mengeluarkan biaya-biaya sebanyak 18 juta (10 juta diantaranya dengan Faktur Pajak PPN). Faktur Pajak Masukan yang diperoleh petani adalah 12 juta atas perolehan gula dari pabrikan gula dan 1 juta dari biaya-biaya (seluruhnya tidak bisa dikreditkan sehingga menjadi biaya). Sehingga laba sebelum PPh petani adalah = 132 jt – 12 juta – 18 juta – 1 juta = 101 juta.
Dari kedua simulasi di atas terlihat bahwa laba petani akan lebih besar jika menjadi PKP dibanding tidak menjadi PKP. Plus harga jual ke pihak lain akan lebih murah sekitar 10% karena PPN atas gula/tebu terutang diterbitkan Faktur Pajak yang dapat dikreditkan oleh pembeli. Sedangkan kalau petani bukan PKP maka harga jual harus ditambah 10% dari mark up PPN yang dibayar ke pabrikan gula.
Jika ditelisik sampai di sini, tampaknya dapat disimpulkan PPN atas gula/tebu sebenarnya bukan masalah bagi petani. Selisih laba antara petani yang menjadi PKP dengan petani yang bukan PKP, tidak terlalu lebar. Mark up PPN pun mestinya bukan masalah bagi petani karena itu akan menjadi tanggungan pembeli. Mekanisme pasar dapat bekerja sedemikian sehingga setiap pelaku pasar mendapat reward sesuai dengan nilai tambah yang dilakukan dan persaingan akan dimenangkan oleh mereka yang paling efisien dalam proses bisnisnya.
Sampai di sini, saya menduga, akar sengkarut sebenarnya bukan pada soal pajak. Dari informasi sebelumnya, Kementerian Perdagangan menetapkan Harga Eceran Tertinggi untuk komoditas gula sebesar Rp12.500,- sejak 10 April 2017.Berdasarkan MOU antara Aprindo dengan distributor gula yang difasilitasi oleh Kementerian Perdagangan ditetapkan bahwa HET gula pasir Rp12.500/kg dan harga jual gula dari produsen Rp11.900/kg franco DC dengan kemasan 1kg atau Rp10.900/kg loco pabrik yang dikemas ukuran 50kg untuk dikemas ulang dalam kemasan 1kg oleh retail.
Saya menduga, masalah petani gula/tebu ada pada penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) gula pasir. Harga yang ditetapkan tampaknya sudah termasuk PPN. Sekarang mari kita simulasikan masalah yang dihadapi pedagang retail. Misalkan dia membeli gula langsung dari pabrikan gula di atas tanpa perantara lagi.
- Jika petani adalah PKP. Pengusaha retail memperoleh 12 ton gula dengan harga 120 juta rupiah (dikenakan PPN 10%). Dengan HET 12.500/kg maka laba yang diperoleh adalah (100/110 x 12.500) – 10.000 = 1.364/kg = Rp16.363.636 / 12 ton. PPN terutang dan harus disetor ke kas negara adalah (10/110 x 12.500 x 12.000) – 12 juta = Rp1.636.364
- Jika petani bukan PKP. Pengusaha retail memperoleh 12 ton gula dengan harga 132 juta rupiah (karena ada mark up PPN). Dengan HET 12.500/kg maka laba yang diperoleh adalah = (100/110 x 12.500 x 12.000) – 132 juta = Rp4.363.636,-. PPN terutang dan harus disetor ke kas negara adalah (10/110 x 12.500 x 12.000) = Rp13.636.363 karena tidak ada pajak masukan yang dapat dikreditkan.
Dari simulasi di atas jelas terlihat bahwa laba yang diperoleh pengusaha retail jauh lebih kecil jika membeli dari petani yang bukan PKP. Persoalannya kemudian,kenapa malah petani yang meributkan PPN atas gula/tebu, bukan pedagang retail atau pabrikan? Dari simulasi di atas juga terlihat jelas bahwa PPN yang ada akan menjadi tanggungan pembeli, bukan petani sebagai penjual.
Namun secara teori ekonomi kita juga tahu bahwa dalam transaksi jual beli yang dikenakan pajak, beban pajak akan dibagi antara penjual dan pembeli. Elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran akan menentukan besarnya sharing beban pajak tersebut antara pembeli dengan penjual. Dalam praktiknya, elastisitas ini menggambarkan besar kecilnya daya tawar para pihak. Sangat patut diduga bahwa daya tawar petani sangat lemah dibandingkan daya tawar pabrikan dan pengusaha retail. Hal ini mengakibatkan, di lapangan, pengusaha menekan harga jual petani (dengan alasan dikenakan PPN) supaya profit margin pengusaha tetap terjaga.
Semoga bermanfaat.
Comments are closed.