Forum Pajak – Kerugian piutang lazim dialami para pelaku bisnis. Untuk itu, dalam akuntansi kita mengenal adanya piutang tidak tertagih dan juga cadangan piutang tidak tertagih. Persoalannya, tidak semua piutang yang tidak tertagih tersebut dapat dibebankan sebagai biaya pada laporan keuangan fiskal atau laporan keuangan untuk perpajakan.
Misalnya PT. XYZ menjual barang secara kredit pada Toko Malaz Maju dan mencatat penjualan tersebut sebagaimana tampak pada ilustrasi di atas.
PT. XYZ mengakui dalam akuntansinya bahwa 100% dari piutang tersebut tidak dapat ditagih dan mencatatnya sebagai kerugian piutang tidak tertagih sebesar Rp 825.000.000. Namun ternyata pada saat pemeriksaan pajak, fiskus atau petugas pemeriksa melakukan koreksi atas kerugian piutang tersebut karena tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Lantas, kerugian piutang seperti apa yang dapat dibebankan pada laporan keuangan fiskal tersebut?
Dasar Hukum Pembebanan Kerugian Piutang
Pembahasan kerugian piutang akibat tidak tertagih, biasanya lebih sering melihat dari sudut pandang pajak penghasilan. Sebagaimana kita lihat pada jurnal di atas, terdapat pajak pertambahan nilai ( PPN Keluaran ) yang oleh wajib pajak telah disetorkan ke kas negara dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN. PPN ini seharunya menjadi beban pembeli, namun karena piutang tidak dapat ditagih maka menjadi beban penjual. Sejauh yang kami ketahui, belum ada ketentuan yang mengatur mengenai masalah PPN akibat dari kerugian piutang yang tidak tertagih. Jika Anda memiliki saran atau masukan, silakan tulis pada ruang komentar.
Jika dilihat dari sudut Pajak Penghasilan (PPh), dasar hukum pembebanan kerugian piutang sebagai pengurang penghasilan kena pajak diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-undang No.36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan:
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
- telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
- telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
- syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf h:
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Adapun Peraturan Menteri Keuangan terkait dengan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh dimaksud adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-105/2009 Tentang Piutang Yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. PMK-105/2009 ini telah diubah dua kali yaitu dengan PMK-57/PMK.03/2010 yang mengubah ketentuan Pasal 1, Pasal 3, dan menambah Pasal 5A pada PMK-105/PMK.03/2009 dan terakhir dengan PMK-207/PMK.010/2015 yang mengubah ketentuan Pasal 3, 4, dan 5.
Comments are closed.