Terkait dengan isu dan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) pengampunan pajak yang tengah digarap DPR, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menyampaikan catatan-catatan yang mesti diperhatikan dalam siaran pers-nya sebagai berikut:
1. RUU ini menggunakan terminologi “Pengampunan Nasional”, hal yang tidak lazim digunakan padahal substansi RUU ini sepenuhnya adalah pengampunan pajak. Kata “nasional” yang digunakan menjadi rancu dan dapat menimbulkan misinterpretasi publik.
2. Cakupan pengampunan, agaknya terkait dengan pemakaian istilah nasional, adalah pengampunan pidana pajak dan pidana lain selain narkoba, terorisme, dan human trafficking. Ini dapat menjadi impunitas bagi pelaku pidana non pajak dan berpotensi menimbulkan persoalan sosial-politik yang luas, khususnya pelemahan gerakan anti-korupsi.
3. Pengampunan diberikan kepada orang pribadi dan badan dengan tidak membedakan antara wajib pajak dan bukan wajib pajak. Tanpa dikotomi yang jelas, pengampunan berpotensi men–discourage wajib pajak yang sudah terdaftar dan menyampaikan SPT. Pembedaan tarif terkait masa keikutsertaan dalam pengampunan justru dapat merugikan karena mereka yang sudah paham dan mendapat informasi lebih awal menikmati tarif lebih rendah meskipun sebelumnya belum terdaftar dan tidak menyampaikan SPT.
4. Tidak terdapat skema repatriasi yang jelas, yaitu kewajiban menempatkan dana di perbankan dalam negeri atau diinvestasikan dalam obligasi negara dalam jangka waktu tertentu. Tanpa ketentuan ini, pengampunan pajak berpotensi gagal mencapai tujuan.
5. Pengampunan pajak akan diberikan segera, padahal saat bersamaan kita belum memiliki data akurat, administrasi yang baik, dan Indonesia baru akan mengikuti inisiatif BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) yang akan memampukan kita menangkal praktik penghindaran pajak agresif dan pertukaran data otomatis dengan negara lain. Ini menjadi ironis dan misleading karena justru saat Pemerintah memiliki “stick” untuk law enforcement, hal itu tak dapat digunakan karena objek pajak sudah diampuni terlebih dahulu. Dengan demikian negara berpotensi hanya mendapat hasil yang tidak optimal.
6. Mandat untuk membangun sistem administrasi pengawasan kepatuhan pasca-pengampunan belum jelas dalam UU sehingga berpotensi terjadi mal–administrasi yang akan berdampak pada kepatuhan pajak di masa mendatang.
7. RUU ini belum diletakkan dalam konteks pembaruan sistem perpajakan dan keuangan yang menyeluruh, seperti amandemen UU Perbankan, penerapan Single Identification Number, akses data perbankan dan keuangan, koordinasi kelembagaan penegak hukum, dll.
Maka kami menghimbau:
1. DPR dan Pemerintah menunda rencana pemberlakuan UU Pengampunan Pajak sampai dengan pembahasan yang matang dan komprehensif, dan setelah Pemerintah dipastikan dapat menggunakan kewenangan memungut pajak sesuai BEPS Action Plan dan Automatic Exchange of Information, disertai amandemen UU Perbankan yg memastikan akses pajak ke data perbankan dipermudah. Pengampunan pajak akan optimal diberlakukan 2017-2018.
2. Mempersempit cakupan pengampunan pada pidana pajak saja demi kepastian hukum dan terhindarnya moral hazard untuk impunitas, dengan kewajiban merahasiakan data wajib pajak yang disampaikan.
3. Mengubah skema tarif dengan pembedaan antara tebusan bagi wajib pajak yang sudah terdaftar dan menyampaikan SPT, dan orang pribadi/badan yang belum terdaftar. Misalnya tarif 5% dan 10%, termasuk membedakan perlakuan terhadap wajib pajak UMKM.
4. Kewajiban penempatan dana di perbankan nasional melalui instrumen keuangan seperti obligasi negara dalam jangka waktu 5 tahun agar dijamin menggerakkan perekonomian negara.
5. Mempersiapkan infrastruktur dan administrasi pengawasan pasca-pengampunan yang dapat menjamin kepatuhan pajak dan peningkatan penerimaan pajak di masa mendatang.
Comments are closed.