Karena #MamaMintaPulsa sudah terlalu mainstraim, kini trending topik beralih ke #PapaMintaSaham. Hebat betul trending topik dengan tagar #PapaMintaSaham ini, hanya dalam tempo kurang dari dua minggu sudah menggusur tagar #PajakMilikBersama yang telah nangkring hampir setahun di berbagai media sosial. Tentu ini bukan karena kurangnya sosialisasi #PajakMilikBersama, sehingga pajak tampak kurang greget, tetapi jika mau jujur, ini karena rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat untuk mengkontribusikan uang mereka pada negara.
Kita tidak perlu bertanya ‘kok bisa?’ karena memang itu pertanyaan yang tidak bermutu. Orang-orang di otoritas pajak juga tidak perlu merasa berdosa lalu bunuh diri kalau #PajakMilikBersama sama sekali tidak punya taste yang menyentuh dasar batin terdalam sebagian besar masyarakat. Alih-alih menumbuhkan kesadaran pajak, #PajakMilikBersama terkesan garing karena minimnya rasa keadilan dan #PapaMintaSaham telah lunas membuat slogan ini lebih terasa membodohi.
Bagaimana tidak? Kita sudah terbiasa dicekoki ‘pajak tulang punggung penerimaan negara’ atau ’negara tidak dapat bergerak tanpa pajak’. Dan meski kenyataannya negara sedang menuju babak kerapuhan dengan pilihan utang yang makin menggunung, tanggung jawab penerimaan negara seolah hanya tanggung jawab orang pajak. Kenapa? Karena ‘pajak tulang punggung penerimaan negara’!
Lalu di satu sisi kita melihat penerimaan negara yang ngos-ngosan pada kisaran 60%. Dari total penerimaan tersebut, pajak penghasilan 21 dari karyawan mendominasi. Pada sisi lain, pengusaha kecil dan menengah mau tidak mau, suka tidak suka, mesti bayar 1% (plus sebentar lagi PPN 2%), terserah mau untung atau rugi. Lihat Wacana Perubahan PP-46 / 2013, Apa yang Baru?Pada saat yang sama para pengusaha kecil yang meski berbagai survey telah membuktikan bahwa mereka salah satu penyelamat Indonesia dari krisis 98, dengan menyedihkan harus melihat berbagai insentif pajak bagi perusahaan besar dan multinasional. Di luar dugaan, meski sudah diberi iming-iming, perusahaan-perusahaan besar tersebut, -bahkan termasuk perusahaan-perusahaan di bawah kepemilikan para anggota dewan terhormat & pejabat-pejabat atas, tidak tertarik memanfaatkan insentif pajak dan membayar pajak untuk menyelamatkan keuangan negara. Memang harus diakui, menyelamatkan keuangan perusahaan dan menyelamatkan keuangan negara adalah dua sisi yang saling berhadap-hadapan.
Namun mari sedikit berandai-andai berapa banyak usaha dan perusahaan yang dimiliki para anggota dewan dan para aparat pemerintah. Bayangkan misalnya grup-grup perusahaan Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Setya Novanto, dan bahkan perusahaan keluarga presiden sendiri, lalu perusahaan lain yang dimiliki para pejabat legislatif dan eksekutif baik tingkat pusat maupun daerah berbondong-bondong menggenapkan kewajiban pajak mereka serta menunjukkan kualitas sebagai pembayar pajak yang bagus, separuh persoalan pajak kita sudah selesai.
Di tengah berantakannya penerimaan pajak dan kedodorannya pembenahan sistem pajak, dari pojok-pojok instansi pemerintah pusat dan daerah kita membaca pemberitaan berbagai pemborosan penggunaan anggaran. Mulai dari mark-up pengadaan, penyalahgunaan anggaran hingga bahkan masih sangat lekat kasus dari sumatera utara bagaimana dana bantuan sosial diduga disalahgunakan untuk kepentingan pribadi pada pemilu.
Dari kursi legislatif, biaya-biaya dewan yang terhormat menggunakan uang pajak yang katanya #PajakMilikBersama itu untuk hal-hal yang kita kesulitan memasukkannya pada nalar sehat seperti #PapaMintaSaham. Lalu di hingar-bingarnya #PapaMintaSaham, gairah mengganyang uang pajak lewat APBN seperti mendapat darah segar ketika Fahri Hamzah, wakil ketua DPR menginginkan keuangan dewan lepas dari kontrol pemerintah (liputan6.com). Arti dari pernyataan ini sederhana sekali: Anda wajib membayar pajak, wakil Anda di DPR menggunakan uang pajak itu dan Anda dilarang untuk menanyakan ke mana uang pajak yang Anda bayarkan!
Bagaimana tingkat kepercayaan masyarakat untuk membayar pajak tidak hancur lebur jika dihadapkan pada fenomena-fenomena ketidakadilan yang tidak saja mencolok di depan mata namun sudah mengiris-iris mengguratkan luka dendam itu? Bagaimana kepercayaan pada pajak dapat tumbuh jika peraturan pajak, UU dan sebagainya, disahkan dan diolah oleh orang-orang yang nyata-nyata menggunakan uang pajak bukan mengutamakan kepentingan publik?
Sampai di sini, kita tahu persoalan penerimaan negara sebenarnya sudah selesai. Negara kita bukan kekurangan sumber penerimaan negara, tapi kekurangan nalar sehat untuk memberikan kepada negara apa yang menjadi hak negara. Di luar pajak (dalam arti sempit hanya pajak pusat) masih banyak sumber penerimaan negara yang lain. Ada penerimaan negara bukan pajak (PNBP), ada Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ada royalti, ada deviden, dan kekayaan alam yang luar biasa.
Namun #PapaMintaSaham menunjukkan kepingan gunung es dari penerimaan negara yang seharusnya menjadi bagian negara tapi belok ke tangan para calo. Kita jadi patut bertanya, berapa persen pengeluaran APBN yang masuk ke kantong calo, berapa porsi PNBP, pajak daerah, retribusi daerah laba BUMN yang masuk ke calo? Belum lagi berapa investasi dari luar yang belok ke calo dan bahkan berapa porsi utang luar negeri yang belok ke calo dan pembayar pajak diminta melunasi utang tersebut.
Pada debat capres 2014, Hatta Rajasa menanyakan kepemilikan saham perusahaan tambang di Indonesia. Pada saat itu, terungkap kepemilikan saham-saham perusahaan tambang asing banyak dikuasai perusahaan swasta, seperti kelompok perusahaan milik Aburizal Bakrie pada Freeport dan Newmont. (suarapembaharuan.com).
Dalam upaya membenahi penerimaan pajak dan sistem perpajakan, pemerintah masih akan meluncurkan berbagai perubahan undang-undang. Salah satu yang juga cukup santer adalah kebijakan tax amnesty yang saat ini masih diproses di Dewan Perwakilan Rakyat. Dan kita patut mewaspadai, apakah ini untuk menyelamatkan penerimaan negara atau menyelamatkan para papa ganjen yang sering minta saham ke mana-mana.
Comments are closed.