Bocoran tentang apa yang disebut dengan Dokumen Panama atau “the Panama Papers (PP)” sudah marak ke seluruh dunia dan menyebabkan kontroversi di banyak negara karena menyangkut nama-nama tokoh elit, baik pejabat negara maupun korporasi besar. Tak kurang dari Presiden Vladimir Putin (VP) dari Rusia dan PM Islandia, Sigmundur Gunnlaugsson (SG) yang terkena getah. Sigmundur malah sudah benar-benar mundur gara-gara PP.
Di Indonesia, nama yang disebut-sebut media antara lain adalah Wapres JK dan Ketua BPK, Harry Azhar Azis (HA). Kedua pejabat tinggi negara itu disebut karena nama-nama anggota keluarga mereka tercantum di dalam dokumen yang dimiliki firma hukum Mossack Fonseca (MF), sebuah perusahaan yang memfasilitasi pendirian perusahaan-perusahaan ‘cangkang’ (shell companies, PC) atau perusahaan-perusahaan ‘kertas’ (paper companies, PK) di Panama atau British Virgin Island.
Nama-nama tokoh Indonesia lainnya yang ada dalam bocoran dokuman MF antara lain adalah: Airlangga Hartanto (AH), Jhonny G. Plate (JP), dan juga Sandiaga Uno (SU).
Praktik mendirikan PC atau PK ini dilakukan untuk memperlancar kirpah dalam bisnis internasional dan utamanya menghindari pembayaran pajak yang tinggi. Karena itu menjadi bagian dari PC adalah sebuah praktik legal tetapi bisa dikategorikan “abu-abu” dan lebih cenderung ke arah “hitam”. Para politikus korup, mafia, penipu top, gembong narkoba, konglomerat hitam, dan sebangsanya adalah langganan PK dan PC. Sedemikian rupa besarnya presentasi para pelaku korup dan kriminal yang terlibat di dalam rekayasa finansial seperti itu, sehingga sulit menghilangkan kesan negatif bagi pihak-pihak yang terlibat di dalam PK dan PC kendati mungkin mereka bukan para pencoleng.
Itulah sebabnya, sulit bagi saya menerima argumen para pejabat negara RI yang namanya terdapat dalam dokumen MF seolah-olah mereka bisa melepaskan tanggungjawab etis ketika nama-nama mereka muncul di sana. Bisa saja para pejabat tersebut berdalih dengan argumentasi legal formal dan praktik bisnis, dll. Tetapi, lagi-lagi menurut pandangan pribadi saya, mereka bukanlah pemimpin yang bisa menjadi teladan bangsanya. Bahkan secara politik pun Pemerintah PJ akan terbebani dengan kasus seperti ini, setidaknya akan menjadi kendala untuk meyakinkan kepada rakyat Indonesia bahwa para penyelenggara negara yang ada saat ini adalah orang-orang yang memiliki standar etik yang bisa dipertanggungjawabkan.
Saya tahu bahwa seperti biasanya, himbauan dan petisi terhadap para penyelenggara negara yang namanya terlibat di dalam PP agar mereka mundur dari jabatan, akan ditolak dengan berbagai alasan dan argumen. HA, misalnya, bersikukuh mengatakan bahwa tak ada yang salah soal keterlibatan dirinya dalam membuat PC bersama sang anak. [Baca: Nada Tinggi Ketua BPK Soal Panama Papers: Saya Tak Salah ]. Demikian juga JK yang mengatakan tak semua sumber dana PP adalah hasil kejahatan. Ujung-ujungnya, pihak-pihak yang mengajukan himbauan atau protes bisa jadi malah akan repot karena mereka akan diminta membuktikan sendiri. Inilah respon klasik yang selalu kita dengar manakala ada persoalan “abu-abu” seperti dalam politik.
Namun, secara pribadi saya mendukung himbauan dan protes publik agar para pejabat negara dan mereka yang terlibat dalam bisnis seperti itu agar tidak terlibat lagi sebagai penyelenggara negara. Termasuk mencalonkan diri mereka dalam Pilkada atau menjadi anggota Parlemen. Jika mereka memang konsisten dengan penegakan hukum, pemerintahan yang bersih, dan tatakelola yang baik serta punya tanggung jawab etik yang tinggi, setidaknya mereka harus menjadi teladan. Bukannya malah melontarka alasan-alasan formal yang bernada pengabsahan terhadap praktik-praktik “abu-abu”. Tirulah sikap PM Islandia, Sigmundur, dengan cara segera mundur!
(Muhammad AS Hikam)
*) Tulisan tersebut saya ambil dari laman facebook AS Hikam dengan menambahkan info grafik dari http://katadata.co.id dengan tujuan sebagai referensi bagi pembayar pajak.
Comments are closed.