Satu pekan menjelang berakhirnya program tax amnesty, masyarakat terus memadati kantor-kantor pajak untuk mengikuti program tersebut. Pegawai pajak pun harus kerja ekstra untuk mengantisipasi membludaknya wajib pajak yang mendaftar program tax amnesty. Bahkan, kantor pajak pun sampai membuka pelayanan tax amnesty dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 21.00 malam. Tidak hanya itu, di hari terakhir penutupan kantor pajak buka hingga pukul 24.00.
Sebagai masyarakat, saya turut mengapresiasi kerja keras yang luar biasa para pegawai pajak demi mengumpulkan pundi-pundi penerimaan negara. Waktu luang yang seharusnya di pakai berkumpul bersama keluarga justru tersita pada pekerjaan alias lembur demi kemajuan sebuah bangsa.
Bagaimana tidak? Hampir 87% penerimaan APBN berasal dari penerimaan pajak yang nantinya dialokasikan untuk belanja negara. Pajak sudah menjadi pondasi negeri ini. Bahkan konstitusi pun memberikan mandat yaitu hak negara untuk memungut sebagian pendapatan dan harta warga negaranya.
Tetapi melihat realita tersebut saya prihatin ketika tax ratio Indonesia masih tergolong rendah di dunia yang hanya 10,93% dari PDB. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara serumpun di Asia Tenggara Indonesia masih di bawah Filiphina dengan tax ratio berkisar 12%, Malasyia yang tax rationya berkisar 16% dan Singapura dengan tax ratio berkisar 18%.
Hal tersebut menandakan masih rendahnya kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak. Padahal, tanpa disadari secara langsung kita telah merasakan manfaat pajak yang kita bayarkan di antaranya pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Pada dasarnya tax ratio itu penting karena mengukur seberapa besar porsi perpajakan dalam perekonomian negara tersebut. Di Indonesia tax ratio dihitung dengan membandingkan antara penerimaan perpajakan dengan Gross Domestic Bruto (GDP). Artinya, semakin tinggi penerimaan negara sektor pajak semakin tinggi tax rationya.
Ini berbeda dengan pendekatan tax ratio yang dipakai negara lain yang berkiblat pada OECD atau pendekatan basis data. Namun celakanya, sesuai himbauan DJP yang dikutip melalui biro analisa dan pelaksanaan APBN- Setjen DPR RI, jika Indonesia memakai pendekatan tersebut maka hasilnya tetap rendah.
Pada tahun 2018-2019 diharapkan tax ratio Indonesia mampu mencapai 13-14%. Jelas bukan hal yang mustahil, meski tentu saja diperlukan kerja ekstra keras bagi DJP plus kesadaran wajib pajak untuk mencapai target tersebut. Mengintip data ditjen pajak, tingkat kesadaran wajib pajak di Indonesia baru berada pada kisaran 60%. Angka tersebut berasal dari jumlah pemegang NPWP yang saat ini berjumlah 18,2 juta, tetapi yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) hanya berkisar 10,95 juta. Artinya, masih ada 40% wajib pajak terdaftar yang belum menyampaikan SPT Tahunan.
Kondisi tersebut cukup memprihatinkan mengingat jumlah wajib pajak yang terdaftar dalam sistem adminitrasi DJP pada tahun 2015 mencapai 30.044.103 yang terdiri atas 2.472.632 WP Badan, 5.239.385 WP Orang Pribadi non karyawan, dan 22.332.086 WP Orang Pribadi Karyawan. Lebih memprihatinkan lagi ketika bahwa kesadaran yang masih rendah tersebut tetap bertahan meski DJP telah memberikan berbagai kemudahan diantaranya pendaftaran wajib pajak melalui e-Registration, menyampaikan SPT Tahunan baik WP OP maupun WP Badan melalui e-Filling, dan membayar pajak melalui e-Billing.
Di era yang serba digital ini, semua itu dapat dilakukan hanya dengan duduk santai di rumah. Tetapi butuh niat tulus dari wajib pajak serta kesadaran dalam berkontribusi membangun negeri. Melalui program pengampunan pajak inilah pemerintah memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk melaporkan setiap harta kekayaannya yang belum dilaporkan. Program ini juga merupakan awal reformasi perpajakan secara komprehensif di Indonesia untuk mengelola perpajakan secara tertib dan bersih dari korupsi.
Tax amnesty merupakan program yang dicanangkan pemerintah berupa penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi dan pidana bidang perpajakan dengan cara mengungkapkan harta kekayaannya dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2016 tentang tax amnesty atau pengampunan pajak. Program ini berlangsung selama 9 bulan yang dibagi dalam 3 periode dengan persentase pajak yang berbeda. Untuk periode pertama berlangsung mulai 1 juli 2016 hingga 30 september 2016 dengan deklarasi dalam negeri tarifnya 2% dan 4% untuk deklarasi luar negeri, periode kedua berlaku mulai 1 oktober 2016 hingga 31 desember 2016 dengan deklarasi dalam negeri dengan tarif 3% dan 6% untuk deklarasi luar negeri, periode ketiga yang merupakan periode terakhir berlangsung mulai 1 januari 2017 hingga akan berakhir pada tanggal 31 maret 2017 bersamaan dengan berakhirnya laporan SPT tahunan.
Hingga hari ini minggu 26/03/2017 jumlah repatriasi dana tax amnesty telah mencapai Rp 146 trliliun dan diperkirakan akan terus meningkat, mengingat masih ada sisa waktu 5 hari lagi. Sementara target repatriasi dana hasil tax amnesty sendiri diperkirakan mencapai Rp 165 triliun. Lebih dari 801.000 wajib pajak telah mengikuti program ini dengan total harta Rp 4.625 triliun dan penyampaian Surat Penyertaan Harta (SPH) pada 25/03/2017 sudah ada 1.100 SPH. Hasil penerimaan ini diharapkan dapat diinvestasikan pemerintah, tidak hanya di sektor keuangan saja melainkan di sektor riil yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya tax amnesty ini likuiditas dan juga kurs rupiah diharapkan dapat mencapai kestabilannya mengingat beberapa waktu lalu rupiah sempat melemah karena banyak harga komoditas yang mengalami kenaikan yang diiringi dengan lemahnya permintaan.
Program tax amnesty menjadi modal besar bagi DJP untuk meningkatkan kinerja sekaligus kepatuhan wajib pajak yang selama ini masih tergolong rendah. Namun, perlu adanya public awareness atas pengampuan pajak tersebut. Oleh karena itu, tantangan terbesar yang dihadapi DJP yaitu mengenai perluasan basis data dan manajemen data yang terintegrasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk pemetaan potensi, verifikasi, data matching dan lain sebagainya. Selain itu perlu adanya penegakan hukum pasca program tax amnesty. Hal itu juga dapat memperkuat kepercayaan publik pasca tax amnesty.
Penerapan kerangka kepatuhan pajak berbasis enhanced relationship juga perlu diterapkan di Indonesia agar setiap masyarakat memahami bahwa pajak bukanlah suatu beban yang memaksa dan diharuskan untuk membayarnya. Akan tetapi melalui paradigma baru tersebut mensyaratkan adanya transparansi, partisipasi, keterbukaan, saling percaya dan saling memahami antara wajib pajak, otoritas pajak dan juga konsultan pajak. Hal ini dapat digunakan untuk meminimalisasi terjadinya isu pajak yang berpotensi menjadi sengketa, dan jika ada potensi sengketa dapat diselesaikan sejak dini. Paradigma ini sudah diterapkan hampir di 20 negara di dunia diantaranya Australia, Belanda, Inggris, Polandia hingga Rusia. Dengan penerapan paradigma tersebut diharapkan pemungutan pajak lebih efisien meskipun dengan sumber daya yang terbatas.
Meskipun Indonesia sering mengalami shortfall yang lebar, namun pemerintah mampu mengelola defisit anggaran dalam batas aman. Akan tetapi, perlu kita pahami bahwa gap yang besar antara realisasi dan target dapat menciptakan potensi risiko fiskal dan kredibilitas bagi pemerintah. Untuk itu, pemerintah, khususnya DJP perlu segera melakukan evaluasi mengenai kinerja pemungutan dan juga targeting penerimaan; sudahkah rencana penerimaan disusun dengan cara yang tepat?
Terima Kasih.
Referensi:
Nota Keuangan RAPBN 2017
Comments are closed.