Konon, sebuah potret kemiskinan yang lestari di daerah Karawang Jawa Barat itu dinamai kerupuk melarat atau kerupuk miskin. Engkau tahu, melarat adalah juga nama lain untuk kere dalam bahasa Jawa. Jadi jelas, kerupuk melarat juga sahabat karib orang kere. Kerupuk yang terbuat dari tepung ketela ini tidak digoreng pakai minyak, tetapi pakai pasir. Jika kau cukup beruntung, maka gigimu selamat dari menghajar pasir yang kadang terselip di antara lubang-lubang kerupuk.
Kematian Irma Bule bisa jadi adalah anti klimaks terhadap kerupuk melarat ini. Jika kau tidak tahu siapa itu Irma Bule, baiklah saya ingatkan sedikit. Irma Bule merupakan penyanyi dangdut jalur pantura yang terkenal dengan aksi manggungnya bersama ular kobra. Beberapa hari lalu, Irma Bule tewas setelah ia dipatok ular kobra kawan mainnya.
Sebenarnya ia tidak langsung tewas saat itu. Umumnya, orang meninggal dalam rentang waktu 5 menit sejak ular kobra menancapkan taringnya. Tetapi Irma Bule lain. Penolakan terhadap kemiskinan membuatnya tidak mau mati. Ia bertahan di atas panggung lebih dari dua jam. Dengan paha yang sedikit berdarah, ia terus menyanyi, bergoyang dan bergoyang. Ia tidak peduli dengan perih. Ia tidak peduli dengan kematian yang dekat sebagaimana ia juga tidak peduli pria-pria tidak senonoh berlaku kurang ajar pada tubuhnya.
Engkau akan lebih masygul jika tahu Irma Bule melakukan semua aksi berbahaya itu hanya untuk honor senilai Rp 500.000. Ia tidak ragu untuk melakukan apapun demi melawan kemiskinan, menolak kerupuk melarat yang nyaris tiap hari jadi lauk keluarganya. Dan ketika di satu sisi kaum jelata menolak kerupuk melarat, pejabat setempat memamerkan monumen kemiskinan tersebut ke berbagai sudut kota.
Tragedi semacam itu nyaris tersebar di berbagai pelosok Indonesia. Kita bisa baca, seorang tukang becak meninggal di becaknya. Lalu buruh migran yang mati tanpa pemberitaan. Di sudut yang lain, para petani berjuang dari jarahan penguasa tambang. Tanggal 9 April lalu, dikabarkan seorang petani meninggal dalam upayanya melawan kemiskinan ketika melakukan aksi jalan kaki dari Jambi ke Jakarta. Lalu masih pada laman berita yang sama kita membaca daftar nama milyader Indonesia di dokumen absurd yang saya lebih suka menyebutnya Panama Pampers.
Engkau tentu paham, pampers biasa digunakan oleh orang-orang yang lemah seperti anak kecil atau para manula. Bagaimana jika orang yang terlihat gagah tiba-tiba menggunakan pampers? Bisa jadi orang ini sakit jiwa atau memang memiliki kelainan. Tak urung ketika pampers dibuka, aroma pesing menguar ke mana-mana. Begitulah analogi yang barangkali tidak terlalu tepat betul untuk menggambarkan bagaimana para tokoh masyarakat dan pejabat publik yang menyembunyikan kekayaannya di balik panama pampers. Di mata orang tak berperasaan yang menggunakan panama pampers ini, kematian orang-orang miskin tampaknya menjadi sebuah rutinitas yang tidak ada istimewanya . Bahwa kematian, memang begitulah yang semestinya terjadi; survival of the fittest!
Di antara pertarungan si kaya dan si miskin, dari belahan dunia lain kita menyaksikan dua orang pegawai pajak mati dibunuh oleh si kaya yang tidak mau membayar pajak. Pembunuh itu bernama Agusman Lahagu. Ia tidak peduli bahwa Toga Parada dan Sozanolo, si pegawai pajak itu, hanya melaksanakan tugas yang harus dikerjakannya. Agusman barangkali hanya tahu, pajak itu menyebalkan. Barangkali juga ketiga manusia ini tidak begitu paham bahwa keadilan antara si kaya dan si miskin dapat dicapai dengan pajak. Parada dan Sozanolo mungkin hanya tahu, pajak berarti mengumpulkan uang untuk negara. Konsep keadilan; kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang dapat diberantas dengan pajak tampaknya terlalu jauh untuk direngkuh.
Meski demikian, momentum ini menjadi penting dalam konsep bernegara dan berbangsa dalam karut marut pertempuran si kaya dan si miskin. Pejabat dan penguasa mesti segera menarik garis tegas bahwa pajak adalah sebuah upaya mewujudkan keadilan. Pajak bukan melulu soal memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara. Bahwa pada akhirnya pajak tampak memihak si miskin, itu adalah sebuah takdir yang tak dapat ditolak. Pajak adalah sebuah sarana bagaimana mendistribusikan sumber daya secara adil. Pajak adalah bagaimana memaksa orang seperti Agusman mau berbagi untuk petani perkebunan. Pajak adalah bagaimana orang-orang dalam Panama Pampers tidak terlalu serakah menyimpan harta untuk dirinya sendiri. Pajak adalah bagaimana menyelamatkan pedagang kerupuk melarat dari kebangkrutan terkena tarif PPh final 1%. Pajak adalah bagaimana melibatkan pejabat pemerintah seperti Ketua BPK untuk peduli agar tidak ada tukang becak yang mati di becaknya.
Kita tentu masih bisa bicara panjang lebar tentang pentingnya pajak di APBN. Namun, kerupuk melarat dan Irma Bule serta nama-nama konglomerat yang berderet semakin panjang di Panama Papers, telah bicara panjang lebar tentang kesenjangan si kaya dan si miskin yang semakin nganga. Ini juga indikator kegagalan bagaimana uang pajak digunakan sebelumnya.
Maka ke depan kita perlu penebalan, sebesar apapun uang pajak yang masuk ke APBN, tanpa memperhatikan konsep keadilan, maka yang terjadi adalah pembenaran menguras bangsa dengan dalih pajak. Penting bagi penguasa untuk segera mengubah paradigma berpikir bahwa kemandirian bangsa tergantung pada bagaimana keadilan pada bangsa itu. Pada titik ini, kematian Parada dan Sozanolo barulah memiliki makna. Mereka tidak sekadar pahlawan APBN tetapi sungguh pejuang keadilan. Mereka tidak mati sia-sia. Di kemudian hari tidak ada lagi orang yang berkata Parada, Sozanolo dan Irma Bule adalah tumbal dari sistem yang bobrok dan manusia-manusia bedebah di negeri ini.
Comments are closed.