Forum Pajak – Peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku hingga saat ini, secara historis tidak terlepas dari sistem pajak warisan jaman kolonial. Malah jika ditarik ke belakang lebih jauh, pemajakan itu sendiri telah menjadi bagian budaya sejak jaman kerajaan-kerajaan kuno. Prasasti Rukam pada dinasti Mataram Kuno (900M) misalnya, menceritakan bagaimana seorang raja menunjuk kepala daerah yang bertugas merawat dan memberi persembahan pada bangunan suci. Pejabat yang ditunjuk tersebut diberi juga kewenangan untuk menarik pajak penghasilan desa sebagai ongkos perawatan.
Contoh lain, pada jaman Sultan Agung, pajak telah digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan keraton. Pada saat itu pajak tidak selalu berbentuk uang. Heri Priyatmoko, penulis buku Jejak Pajak Indonesia, dari Mataram Kuno Hingga Budi Oetomo, menyebutkan bahwa salah satu desa di Klaten memiliki kewajiban untuk menyerahkan beras untuk keperluan istana. Pajak pada masa kerajaan ini lebih sebagai upeti, tanda tunduk dan takluk pada penguasa.
Sistem pemajakan modern mulai dikenalkan pada jaman penjajahan Hindia Belanda. Daerah-daerah kerajaan di bawah penguasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda wajib tunduk pada hukum yang berlaku di Hindia Belanda. Hukum yang dikenal dengan Staatsblad Van Nederlandsch – Indie. Dengan hukum itu, sejak tahun 1816 mulai dikenal istilah tenement tax atau huistax yakni sejenis pajak yang dikenakan untuk mereka yang menggunakan tanah dan bumi sebagai tempat berdirinya bangunan atau rumah. Pajak mulai diatur secara jelas -untuk ukuran saat itu. Aparat pajak dan institusi dibentuk termasuk hingga Majelis Banding Pajak. Meski demikian, sistem pajak pada zaman penjajahan ini secara subtantif tidak terlalu jauh berbeda coraknya dengan upeti pada jaman kerajaan-kerajaan kuno sebelum Indonesia ada. Pajak dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah penjajahan dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di Hindia Belanda.
Oleh karenanya pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutan pajaknya dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi rakyat. Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan rakyat secara patuh.
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan penjajahan Belanda antara lain : Aturan Bea Meterai tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925, Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1932, Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944.
Berikut merupakan sedikit kilasan jejak pajak penghasilan sebagai bagian sejarah pajak penghasilan di Indonesia.
Pajak Penghasilan 1920
Sebelum tahun 1920, pengenaan pajak penghasilan di daerah Hindia Belanda diatur dengan berbagai macam ketentuan. Sebagai contoh adanya pajak pribumi dan non pribumi. Pajak pribumi ini masih terbagi lagi misalnya pajak untuk orang Jawa dan orang Madura. Sementara pajak non pribumi masih dibagi lagi menjadi pajak orang Asia dan pajak orang Eropa.
Mulai tahun 1920, cara pemajakan yang berdasar kebangsaan tersebut dihapus. Pada cara pemajakan baru ini akhirnya dikenal asas unifikasi, yaitu pengenaan pajak yang tidak berdasarkan pada kebangsaan seseorang. Pajak Penghasilan 1920 berlaku bagi semua penduduk, pribumi maupun non pribumi. Sistem pajak juga berlaku bagi perorangan maupun badan usaha. Meski demikian tetap ada perbedaan tarif yang didasarkan pada domilisi wajib pajak.
Selain memperkenalkan asas unifikasi, sistem pajak penghasilan 1920 juga memperkenalkan worldwide income. Wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak penghasilan untuk semua penghasilan, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Untuk wajib pajak luar negeri, pajak dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
Pajak penghasilan dikenakan atas penghasilan neto. Untuk menentukan penghasilan kena pajak, digunakan metode ‘kira-kira’ atau taksiran jumlah penghasilan sebenarnya di tahun yang akan datang. Perkiraan dilakukan pada awal tahun (1 Januari).
Tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi bersifat progresif mulai dari 1% hingga 25%, sedang tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak badan sebesar 6%.
Pajak Perseroan 1925
Pajak Perseroan 1925 merupakan hasil kerja reformasi pajak yang dilakukan Panitia Pajak Perseroan Hindia Belanda. Reformasi pajak ini pada dasarnya melakukan beberapa perubahan atas ketentuan pajak penghasilan 1920. Beberapa hal yang diubah adalah perseroan dan badan-badan dikenakan pajak tersendiri dengan tarif proporsional sebesar 10% dengan kemungkinan diberikan ‘surtax’ setiap waktu dan pajak dikenakan atas laba neto usaha.
Ordonansi Pajak Perseroan ini sebagian besar telah mengadopsi prinsip-prinsip akuntansi modern seperti prinsip taat asas, adanya metode penyusutan dan penilaian aktiva. Ordonansi juga memperbaiki prinsip worldwide income dengan memberi batasan jumlah hari untuk tetap disebut wajib pajak dalam negeri. Ordonansi Pajak Perseoran berlaku hingga tahun 1983 dengan beberapa kali perubahan tarif. Perubahan yang masih sempat dipakai adalah pengenaan tarif progresif dari 20% menjadi 45%.
Pajak Pendapatan 1932
Pajak Pendapatan 1932 pada dasarnya adalah hasil reformasi ketentuan perpajakan 1920 yang diberlakukan bagi wajib pajak orang pribadi. Pada saat reformasi pajak 1925 dilakukan, Panitia Reformasi Pajak menghasilkan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 yang diberlakukan untuk perseroan dan badan usaha. Namun untuk wajib pajak perseorangan masih ketinggalan sehingga wajib pajak perorangan tetap dikenai pajak dengan ketentuan pajak penghasilan 1920.
Pemberlakuan ketentuan pajak penghasilan yang baru bagi wajib perorangan ditandai dengan dikeluarkannya Ordonansi Pajak Pendapatan 1932. Tidak banyak perubahan perlakuan bagi wajib pajak perorangan dibanding dengan Pajak Penghasilan 1920. Pada Ordonansi ini diperkenalkan asas sumber, jangka waktu untuk disebut wajibb pajak dalam negeri dan batasan penghasilan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi.
Pajak Upah 1935
Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 berlaku bagi orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari berbagai sumber. Pada tahun 1935 mulai diperkenalkan pajak yang dikenakan atas penghasilan orang pribadi sebagai karyawan. Ini merupakan cikal bakal witholding tax. Ketentuan pajaknya diatur dengan Ordonansi Pajak Upah 1932. Pengenaan pajak berdasarkan ordonansi ini penerima penghasilan dipungut pajak oleh pemberi kerja.
Pajak Peralihan 1944
Setelah Indonesia merdeka, pajak-pajak tersebut tetap berlaku berdasarkan peraturan peralihan UUD 1945. Pada tahun 1949, Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 diganti nama menjadi Pajak Perang 1944. Perubahan nama ini dilakukan oleh NICA (The Netherlands-Indies-Civil Administration) dan berlaku di daerah-daerah yang diduduki NICA. Pajak Perang kemudian diubah lagi menjadi Pajak Peralihan 1944. Pada dasarnya, Pajak Peralihan 1944 mengikuti Pajak Pendapatan 1932. Beberapa perubahan, atau lebih tepatnya penjelasan ditambahkan seperti pembagian sumber penghasilan menjadi empat macam yaitu penghasilan dari usaha dan pekerjaan, penghasilan dari barang bergerak, penghasilan dari barang tidak bergerak dan penghasilan dari pembayaran atas hak-hak.
Perubahan yang lain adalah pengenaan pajak tidak lagi di awal tahun melainkan di akhir tahun dengan cara diterbitkan surat ketetapan pajak sementara. Pengenaan pajak ini dihitung dengan membandingkan pajak tahun sebelumnya. Dari pajak tahun sebelumnya kemudian ditetapkan pajak untuk tahun berjalan secara sementara.
Pajak Pendapatan 1944
Ketentuan Pajak Pendapatan 1944 lahir pada tahun 1957. Ketentuan ini merupakan peleburan dari ketentuan Pajak Bumi, Pajak Peralihan 1944, dan Pajak Upah 1935. Maka sejak 1957 berlaku dua Undang-undang pajak penghasilan yaitu Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944.
Pada ketetentuan yang baru ini, sistem pembayaran pajak diubah yang semula ditetapkan menjadi mekanisme menghitung dan membayar pajak sendiri (MPS) dan memungut pajak orang lain (MPO). MPO merupakan perubahan mekanisme pembayaran atas Pajak Upah. MPS merupakan cikal bakal sistem self assesment yang berlaku hingga saat ini. Pada sistem MPS, wajib pajak melunasi pajaknya selama tahun berjalan dengan cara menghitung sendiri pajak terhutang dan melunasinya ke kas negara.
Dasar pengenaan MPS adalah penjualan bruto atau penerimaan bruto atau jumlah lain yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. Tarif umum MPS sebesar 1%, sama dengan tarif pajak pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang berlaku saat ini. Perbedaannya, tarif MPS bukan merupakan tarif pajak final, artinya pembayaran pajaknya dapat diperhitungkan pada saat pelaporan pajak untuk seluruh tahun pajak. Di samping tarif umum, sistem MPS juga mengenakan tarif lain sesuai dengan jenis usaha wajib pajak.
Adapun sistem MPO menggunakan tarif sebesar 2% dari peredaran. Pemerintah menunjuk perusahaan dan kantorpemerintah sebagai wajib pungut MPO atas semua transaksi yang dilakukan. Pada ketentuan ini juga dikenalkan witholding tax atas deviden yang kemudian diperluas menjadi pajak atas bunga, deviden dan royalti (PBDR). PDBR yang dikenakan atas pembayaran bunga, deviden dan royalti keluar negeri, bersifat final.
Sistem MPS dan MPO menggunakan peredaran sebagai dasar pemungutan. Hal ini tidak sejalan dengan pajak penghasilan sebab pajak telah berubah menjadi pajak transaksi dengan sifat-sifat pajak tidak langsung. Pajak transaksi ini juga dikenal sebagai pajak peredaran.
Perubahan penting lainnya adalah mulai terlihat ketentuan pajak yang bersifat mengatur (regulerend). Berbagai macam tarif pajak untuk perseroan bermunculan dan Pajak Penghasilan 1944 menjadi pajak schedular, yaitu pajak yang dikenakan tergantung dengan jenis pendapatan yang diperoleh.
Reformasi Pajak 1983
Referensi:
Staatsblad Van Nederlandsch – Indie.
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Mansury, R., Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia, Bina Rena Pariwara, 1994.
Priyatmoko, Heri., Opini: KPK dan Sejarah Pajak, joglosemar.co
Comments are closed.