Kementerian keuangan telah membahas kebijakan pajak terbaru untuk penguatan perekonomian di kantor presiden pada 22 November 2019 lalu. Sesuai dengan pernyataan pers menteri keuangan yang diedarkan oleh Pandawa institute, Presiden meminta Kabinet (Indonesia Maju) untuk membuat peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan peranan UMKM, dan bagaimana meningkatkan investasi dalam rangka meningkatkan penciptaan kesempatan kerja di Indonesia. Dalam rapat juga disinggung mengenai RUU Omnibus Law Perpajakan.
Apa itu Omnibus Law? Omnibus Law pada dasarnya adalah satu undang-undang yang dibuat untuk mengamandemen beberapa Undang-undang sekaligus. Dalam RUU Omnibus Law Perpajakan, pemerintah berencana menyusun RUU yang terdiri dari 6 (enam) kelompok isu. Dalam RUU ini menyangkut UU PPh, UU PPN, UU KUP, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta UU lainnya yang berpengaruh atau dipengaruhi oleh UU ini. Berikut ini beberapa poin yang dibahas untuk dimasukkan dalam Ombinus Law Perpajakan.
- Penurunan Tarif Pajak . Pemerintah berencana menurunkan tarif PPh Badan yang saat ini berlaku sebesar 25%, menjadi 22% untuk periode tahun 2021 – 2022, dan tarif 20% untuk periode 2023. Tambahan insentif penurunan tarif pph badan akan diberikan pada perusahaan go public pada lima tahun terakhir. Tambahan penurunan tarif ini sebesar 3%. Dengan demikian untuk perusahaan go public akan turun dari 22% menjadi 19% dan nanti di tahun 2023, mereka akan turun dari 20% menjadi 17%, karena turun 3% di bawah tarif normal.
- Penurunan tarif atau pembebasan Tarif PPh Dividen. Deviden dari dalam negeri yang diterima oleh Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi akan dibebaskan. Kepastian pengaturan mengenai hal ini akan diatur lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah di bawahnya.
- Penurunan Tarif PPh Pasal 26 atas bunga. Subyek Pajak Luar Negeri yang menerima penghasilan berupa bunga dari Indonesia akan dikenai pajak pph pasal 26 yang lebih rendah dari tarif 20% yang saat ini berlaku. Ketentuan mengenai hal ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
- Pemberlakuan prinsip territori dalam pemajakan. Di dalam RUU Omnibus Law ini, pemerintah juga akan mengatur sistem territori untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri, yaitu untuk Wajib Pajak yang penghasilannya dari luar negeri , baik dalam bentuk dividen maupun penghasilan setelah pajak dari usahanya; penghasilan tersebut akan tidak dikenakan pajak di Indonesia apabila diinvestasikan di Indonesia. Secara rinci pemerintah akan mengatur mengenai prosentase penghasilan berapa yang dikenai pajak dan berapa yang tidak.
- Pemberlakukan prinsip teritori juga berlaku dalam kasus dual residence, di mana satu WNA menjadi subyek pajak dalam negeri di Indonesia. Dalam kasus demikian, Indonesia akan mengenakan pajak hanya atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
- Kemudian, dalam omnibus law ini juga akan diatur mengenai Subjek Pajak Orang Pribadi, terutama yang selama ini menggunakan cut-off 183 hari sebagai penentuan residence, apakah bertempat tinggal di Indonesia atau di luar Indonesia. Untuk Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari, status Subjek Pajak Dalam Negeri-nya bisa dikecualikan apabila mereka memenuhi persyaratan tertentu sehingga mereka bisa dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Dan, atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia, akan dikenakan mekanisme pemotongan pajak penghasilan Pasal 26. Namun untuk penghasilan yang berasal dari luar Indonesia tidak dikenakan pajak lagi karena sudah lebih dari 183 hari sehingga yang bersangkutan menjadi subyek pajak luar negeri.
- Hak untuk mengkreditkan Pajak Masukan, terutama bagi Pengusaha Kena. Aturan ini terutama bagi Pengusaha Kena Pajak yang memperoleh barang ataupun jasa namun dari pihak yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak. Di dalam RUU ini pemerintah mengusulkan agar mereka tetap bisa mengkreditkan pajak masukan tersebut, maksimal 80%. Pemerintah menegaskan ini merupakan suatu yang baru, sehingga merupakan suatu insentif dan kemudahan bagi para pengusaha yang selama ini memiliki barang dan jasa yang berasal dari perusahaan yang belum merupakan Pengusaha Kena Pajak atau bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak. Ini juga termasuk untuk Pajak-Pajak Masukan dari SPT yang ditemukan pada saat pemeriksaan dan mereka tidak bisa lagi mengidentifikasi dari mana perusahaan yang dia peroleh atau pembelian barang- barang tersebut dari perusahaan yang dia peroleh.
- Perubahan sanksi pajak. Dalam RUU ini pemerintah mengusulkan bahwa sanksi administrasi bagi pelanggaran pajak yang selama ini dihitung berdasarkan flat rate yaitu 2% per bulan, akan diubah berdasarkan tarif bunga yang berjalan saat ini.
- Pemberian kompensasi imbalan bunga. Dalam hal Pemerintah berkewajiban memberikan imbalan bunga, Pemerintah rencananya akan memberikan kompensasi imbalan bunga yang akan dibayarkan oleh pemerintah yang juga akan mengikuti suku bunga yang berlaku. Jadi tidak lagi mengikuti 2% per bulan maksimum 24 bulan seperti yang selama ini dalam RUU KUP.
- Subyek Pajak Luar Negeri sebagai pemotong/pemungut pajak. Kemudian, untuk bidang yang berhubungan dengan pemajakan atas perdagangan dengan sistem elektronik, di dalam RUU Omnibus Law ini pemerintah menyampaikan bahwa subjek pajak luar negeri seperti NETFLIX dan yang lain-lain, dapat memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN-nya. Jadi walaupun mereka tidak beroperasi, tidak berada di Indonesia namun ia memiliki aktivitas yang menghasilkan pendapatan dari Indonesia, mereka tetap bisa dan menjadi subjek pajak luar negeri yang memiliki kewenangan untuk memungut, dan kemudian menyetor dan melaporkan kepada otoritas pajak di sini. Pemerintah menegaskan ini dilakukan dalam rangka untuk menghindari transaksi-transaksi elektronik yang selama ini tidak dikenakan PPN, dan pemerintah memiliki kesulitan untuk memungut pajaknya.
- Penambahan ketentuan sebagai BUT. Subjek pajak luar negeri dapat ditentukan sebagai BUT apabila memenuhi syarat economic presence-nya di Indonesia. Jadi, walaupun mereka tidak secara fisik ada di sini namun karena kegiatannya menghasilkan nilai ekonomi, itulah yang diatur sebagai basis perpajakannya dan dalam hal ini akan diatur dalam peraturan pemerintah.
- Rasionalisasi pajak. Dalam omnibus law ini pemerintah berencana mengatur kembali kewenangan Pemerintah Pusat untuk menetapkan tarif pajak daerah secara nasional. Ke depan, dalam RUU ini ditegaskan bahwa pengaturannya melalui peraturan presiden.
- Terakhir, RUU ini diharapkan mengumpulkan seluruh fasilitas-fasilitas perpajakan di dalam satu bagian, termasuk pengurangan dan pembebasan pajak seperti PPh, Tax Holiday, Super Deduction untuk vokasi dan research and development, dan juga perusahaan yang melakukan penanaman modal untuk kegiatan padat karya. Fasilitas PPh untuk Kawasan Ekonomi Khusus dan juga pengurangan dan pembebasan pajak daerah, akan diatur di dalam kelompok ini. Pemerintah juga akan mengatur PPh untuk surat berharga nasional yang diedarkan di pasar internasional.
Comments are closed.