Top_Menu

Anggota Komisi XI DPR RI: Ada Anomali Penerimaan Pajak

Forum Pajak – Bertempat di Tjikini Lima Restaurant & Café, Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) membedah kondisi perpajakan Indonesia pasca tax amnesty. Acara yang berlangsung pada 7 Februari 2017 ini menghadirkan pembicara Direktur Executive CITA, Yustinus Prastowo dan Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo. Pada kesempatan ini, berbagai tokoh dan praktisi perpajakan dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Asosiasi Konsultan Pajak Indonesia dan akademisi dari perguruan tinggi turut menyumbangkan pemikiran terkait kondisi perpajakan Indonesia.

Setidaknya terdapat 4 hal yang menjadi sorotan CITA; kondisi makro ekonomi, overview kebijakan tax amnesty, APBN dan kondisi perpajakan serta alternatif penerimaan Negara. Yustinus Prastowo menggarisbawahi, kondisi perekonomian Indonesia yang masih relatif slow and uncertain. Ekonomi global belum menunjukkan sinyal penguatan yang solid. Dinamika politik AS dan kemungkinan rembesannya berpotensi mempengaruhi perekonomian nasional. Di sisi lain, pemulihan ekonomi belum kondusif untuk melakukan pemungutan pajak secara agresif, bahkan target dan kebijakan pemungutan yang agresif sebagaimana tercermin di 2015 dan 2016 cenderung kontraproduktif dan menghambat upaya pemulihan ekonomi.

CITA menyoroti, sejauh ini, kinerja penerimaan pajak belum memuaskan. Tax buoyancy yang menggambarkan kemampuan otoritas pajak Indonesia dalam mengikuti laju pertumbuhan ekonomi terus menurun, yaitu 2012 (2,1%), 2013 (1,9%), 2014 (1,4%), 2015 (1,5%), dan 2016 (1,4%). Di tahun 2014, Tax ratio Indonesia (12,2%) juga masih tertinggal dibanding negara lain, Filipina (16,7%), Malaysia (15,9%), Singapura (13,9), Afrika Selatan (27,8%), Kamerun (16,1%), dan jauh tertinggal dari rata-rata negara OECD (34,2%). Angka kepatuhan pajak pun masih rendah (58%, 2015) dengan Wajib Pajak yang masih didominasi Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan. Dalam sepuluh tahun terakhir, target penerimaan pajak tidak tercapai, bahkan presentase realisasi 2015 (81,5%) dan 2016 (83%) merupakan yang terburuk.

Dari sisi penerimaan, amnesti pajak sukses menghasilkan penerimaan sebesar Rp109,5 triliun dan deklarasi harta di atas Rp 4.300 triliun, tertinggi di dunia. Meski demikian, capaian tersebut tidak mampu mendorong penerimaan pajak 2016 mencapai targetnya. Di sisi lain, dana repatriasi masih rendah, sehingga belum signifikan pengaruhnya pada perekonomian nasional. Penambahan Wajib Pajak juga tidak signifikan sehingga tambahan basis pajak cukup minim. Jika 2016 amnesti pajak menjadi penentu pencapaian target pajak, maka 2017 harta hasil deklarasi amnesti pajak menjadi determinan bagi tambahan penerimaan pajak. Pertanyaan mendasar, apakah Ditjen Pajak Kemenkeu sanggup mengeksekusi itu dalam jangka pendek? Jika tidak, lalu apa jawaban atas pertaruhan besar ini?

Sumber Penerimaan Negara Alternatif: Ekstensifikasi Obyek Cukai

Sebagai alternatif sumber penerimaan Negara, CITA mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan penambahan obyek cukai seperti cukai minuman ringan berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak. Dengan skema tarif terendah dan tertinggi, pengenaan objek cukai baru ini mampu menghasilkan tambahan penerimaan Rp 28,52 triliun – Rp103,26 triliun atau 18,11%-65,69% dari target cukai dalam APBN 2017.

Pada saat yang sama CITA juga menegaskan pentingnya integrasi kebijakan perpajakan dan cukai. CITA juga mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera mengemas sekaligus agenda (i) revisi UU Perpajakan dan UU Perbankan yang bersendikan keadilan, transparansi, dan akuntabilitas, (ii) perluasan akses fiskus kepada data keuangan dan perbankan, (iii) implementasi SIN (Single Identity Number), (iv) koordinasi antarpenegak hukum, (v) perbaikan IT-based Tax Administration yang menyeluruh, dan (vi) transformasi kelembagaan, yaitu mendesain ulang dan menyediakan prasyarat-prasyarat bagi sistem perpajakan baru yang kredibel, kompeten, dan akuntabel.

Anomali Penerimaan Pajak

Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi XI DPR RI, Andreas Eddy Susetyo menyoroti adanya anomali penerimaan pajak. Menurutnya, pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2016 mestinya naik. Namun pada kenyataannya pertumbuhan penerimaan pajak di 2016 malah turun. Padahal jika dilihat dari pertumbuhan alami, yaitu dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi mestinya naik. “Dengan pertumbuhan ekonomi 5,02% tahun ini dan inflasi 3,02%, seharusnya pertumbuhan alami penerimaan pajak ada setidaknya 8%,” tandasnya.

Anomali lain ditunjukkan pada penerimaan pajak per sektor. Sebagai contoh sektor manufacturing mengalami  pertumbuhan tidak sampai 5% namun setoran pajaknya cukup tinggi melebihi pertumbuhan sektor industrinya. Di sisi lain, sektor yang sedang tumbuh justru pembayaran pajaknya tidak sebanding dengan pertumbuhannya. Andreas Eddy menegaskan adanya anomali-anomali penerimaan pajak ini perlu mendapat perhatian serius dari Direktorat Jenderal Pajak?

Selain catatan atas penerimaan pajak, Andreas Eddy juga memberikan catatan terkait dengan program tax amnesty. Disebutkan, keikutsertaan wajib pajak dalam program amnesti pajak ini hanya berkisar 15% dari total wajib pajak. Dari peserta tax amnesty, DJP memperoleh data deklarasi harta. Memperhatikan penerimaan pajak yang masih terseok-seok, perlu adanya ekstensifikasi data yang dideklarasi dan ekstensifikasi data yang seharusnya dideklarasi namun belum dimasukkan. Selain itu, DJP perlu memperjelas langkah yang dilakukan terhadap 85% wajib pajak yang tidak ikut amnesti pajak. Pada saat yang sama mempersiapkan segala sesuatunya terkait dengan penerapan EOI (Exchange of Information) yang sudah komitmen di 2018 Andreas mencontohkan, beberapa negara lain sudah melakukan penyesuaian khususnya terkait dengan kerahasiaan perbankan untuk kepentingan perpajakan.

, , , , , ,

Comments are closed.