Tahun 2017 telah terlewati dan kini memasuki tahun 2018. Di tahun baru, pemerintah pun tentu dihadapkan pada tantangan baru; menjalankan Rencana Kerja Pemerintah tahunan dengan bekal sebuah instrumen fiskal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Kebijakan yang tertuang APBN 2018 telah disepakati antara pemerintah dengan DPR melalui rapat paripurna akhir Oktober 2017 silam. Di tahun ketiga pemerintahan Kabinet Kerja, instrumen fiskal tersebut disusun dengan tema “Pemantapan Pengelolaan Fiskal untuk Mengakselerasi Pertumbuhan yang Berkeadilan”.
Sebagai bagian dari perwujudan kebijakan penyelenggaraan negara, APBN disusun dengan pertimbangan berbagai aspek yang memengaruhi komposisi di dalamnya. Kondisi ekonomi makro menjadi salah satu faktor utama dalam menentukan arah kebijakan APBN yang kemudian di-breakdown ke dalam tiga pos utama, yakni pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara. Lalu, bagaimana desain APBN 2018 tersebut?
Asumsi Dasar Ekonomi Makro
Secara keseluruhan, tujuh Asumsi Dasar Ekonomi Makro yang ditargetkan tidak begitu berubah signifikan dibandingkan asumsi APBN yang tercantum dalam APBN 2017. Hanya target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen yang cukup ambisius di tengah perkembangan ekonomi nasional yang relatif stagnan. Meskipun tiga tahun terakhir pertumbuhan ekonomi nasional cukup stabil di angka 5,0 persen, 4,9 persen, dan 5,0 persen pada 2014 hingga 2016, namun tak sedikit ekonom menilai bahwa target 5,4 persen terlihat ambisius karena outlook pertumbuhan di hampir semua negara melambat, serta perekonomian Tiongkok yang juga tengah mengalami kelesuan.
Sementara itu, inflasi tahun 2018 ditargetkan sebesar 3,5 persen menunjukkan laju inflasi yang terus menurun dalam tiga tahun terakhir. Bank Indonesia mengklaim bahwa inflasi pada kisaran 3 persen menunjukkan terjaganya stabilitas dari upaya pemerintah mengontrol kenaikan harga komoditas pangan (volatile food) dan harga yang diatur pemerintah (administered price). Berlawanan dengan itu, Badan Pusat Statistik justru memandang bahwa inflasi tersebut menjadi salah satu indikator turunnya daya beli masyarakat. Hal ini didukung dengan data melemahnya penjualan dari sektor ritel.
Asumsi ekonomi makro lain yang menarik diperhatikan adalah kurs Rupiah terhadap USD. Pemerintah memilih sikap berhati-hati dengan menargetkan kurs di angka Rp13.400 per USD. Namun, angka tersebut pun rentan berubah jika melihat faktor eksternal, diantaranya prediksi membaiknya ekonomi AS yang akan mendorong The Fed menaikkan suku bunga acuan. Bahkan banyak kalangan memprediksi akan terjadi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) sebanyak tiga hingga empat kali pada 2018 mendatang. Di sisi lain, kondisi geopolitik di tahun 2018 pun diperkirakan masih belum stabil melihat ketegangan di semenanjung Korea dan yang terbaru di Timur Tengah pasca klaim Yerusalem sebagai ibukota Israel. Situasi tersebut tentu sedikit banyak akan memberikan sentimen negatif terhadap nilai Rupiah. Dampaknya, nilai APBN rentan terpengaruh karena pemerintah menggunakan Dollar AS dalam beberapa transaksinya, seperti pembayaran cicilan pokok dan bunga utang.
Kehati-hatian dalam Postur APBN 2018
Dibandingkan APBN tiga tahun sebelumnya yang cukup ambisius dari sisi nominal, APBN 2018 disusun lebih berhati-hati dan cenderung konservatif. Pemerintah mencoba menerapkan paradigma bahwa APBN bukan sumber utama pergerakan pertumbuhan ekonomi yang penuh ketidakpastian (uncertainty). Hal tersebut mengingat pemerintah akan menghadapi tahun politik, yakni pilkada serentak 2018 di 171 daerah dan disusul persiapan pemilu dan pilpres 2019, sehingga pemerintah harus memastikan bahwa APBN 2018 lebih kredibel dan berkualitas demi menjaga stabilitas nasional.
Sikap kehati-hatian tersebut diantaranya ditunjukkan melalui target pertumbuhan penerimaan pajak yang tidak sebesar tahun sebelumnya. Tahun 2018, pertumbuhan penerimaan pajak dipatok sebesar 9,0 persen menjadi Rp1.618,1 triliun. Sementara di tahun sebelumnya, outlook penerimaan pajak meningkat sebesar 12,7 persen dari APBN 2016. Namun, tak sedikit ekonom meyangsikan pertumbuhan target pajak sebesar 9 persen karena melihat kondisi perekonomian nasional yang tidak sedang berada dalam situasi menggembirakan. Terlebih di tahun 2018 tidak ada lagi tax amnesty yang dapat mendongkrak penerimaan pajak. Sementara itu, pelaksanaan Automatic Exchange of Information (AEoI) pun diperkirakan belum mampu berjalan secara optimal di tahun depan karena memerlukan waktu yang tidak singkat untuk menyusun regulasi serta membangun sistem pendukungnya.
Dari postur belanja, perubahan tidak terlihat begitu signifikan. Secara total, belanja negara pada 2018 dianggarkan sebesar Rp 2.220,7 triliun atau meningkat 5,8 persen dari outlook realisasi APBN 2017. Belanja pemerintah pusat menurut Fungsi mengalami peningkatan signifikan pada Fungsi Pelayanan Umum, Fungsi Ekonomi, dan Fungsi Kesehatan. Sementara anggaran pendidikan dan kesehatan tetap dipertahankan pada batas minimal sesuai amanat UUD, yakni masing-masing sebesar 20 persen dan 5 persen.
Meskipun pemerintah masih terus menggenjot percepatan pembangunan infrastruktur, namun dalam APBN 2018 anggaran infrastruktur hanya meningkat 5,2 persen menjadi Rp410,4 triliun dibanding outlook 2017. Padahal, tiga tahun terakhir rata-rata kenaikan anggaran infrastruktur mencapai 38,57 persen. Nampaknya, pemerintah mulai menggeser fokus belanja pada alokasi anggaran perlindungan sosial dalam rangka memperkuat program-program Perlindungan Sosial Penanggulangan Kemiskinan sebagai dukungan pada Masyarakat Berpendapatan Rendah.
Pemerintah menyiapkan Rp283,8 triliun yang akan dialokasikan untuk subsidi sebesar Rp 145,5 triliun diluar subsidi pajak, Program Keluarga Harapan (PKH) Rp 17,1 triliun, Program Indonesia Pintar Rp 10,8 triliun, Jaminan Kesehatan Nasonal (JKN) bagi warga miskin Rp 25,5 triliun, bantuan pangan Rp 20,8 triliun, Bidik Misi Rp 4,1 triliun, dan Dana Desa Rp 60 triliun.
Yang mengejutkan, alokasi anggaran subsidi energi meningkat dari Rp 77,3 triliun pada 2017 menjadi Rp94,5 triliun untuk 2018. Kondisi tersebut yang membuat para ekonom dan politikus menganggap bahwa anggaran pemerintah tahun depan terlihat lebih populis menjelang tahun politik dibanding anggaran tahun-tahun sebelumnya yang cenderung ekspansif. APBN 2018 menunjukkan pola yang serupa dengan APBN 2008 dan 2013, yakni terjadinya peningkatan belanja sosial.
Namun, melalui peningkatan belanja sosial tersebut pemerintah berharap dapat mendukung peningkatan daya beli masyarakat dalam jangka pendek di tengah kondisi lesunya konsumsi rumah tangga demi mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen. Belanja sosial dipandang dapat memberikan efek yang lebih cepat bagi pertumbuhan ekonomi dibanding belanja infrastruktur yang manfaatnya baru benar-benar optimal setelah infrastruktur beroperasi.
Anggaran untuk Daerah Tidak Lagi Ekspansif
Meskipun alokasi anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) lima tahun terakhir selalu meningkat secara agregat, namun sejak 2017 tren pertumbuhannya cenderung menurun. TKDD hanya meningkat 0,17 persen dari Rp764,9 triliun (APBN 2017) menjadi Rp766,2 triliun (APBN 2018). Bahkan alokasi Dana Transfer Umum yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) menurun 2,6 persen dibanding alokasi pada tahun sebelumnya.
Sementara itu, alokasi Dana Desa 2018 tetap bertahan di angka Rp60 triliun yang diperuntukkan bagi 74.958 desa. Janji presiden untuk menaikkan alokasi Dana Desa dua kali lipat pada 2018 tidak dapat direalisasikan dan diperkirakan baru akan terlaksana di 2019. Kondisi ini disebabkan oleh realisasi di lapangan yang tidak cukup masif. Pemerintah mengklaim bahwa Dana Desa telah berhasil menekan angka kemiskinan dan rasio gini di pedesaan, namun dampaknya pada peningkatan taraf hidup masyarakat masih belum cukup signifikan.
Momentum Perbaikan Profil Utang
Kehati-hatian pemerintah selanjutnya terlihat dari postur pembiayaan yang tidak seambisius biasanya. Pemerintah berupaya menjaga kesinambungan fiskal dengan menetapkan defisit anggaran sebesar Rp325,9 triliun atau 2,19 persen dari PDB. Dari sisi presentase defisit terhadap PDB, angka tersebut merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir.
Tahun 2018 seperti menjadi momentum untuk memperbaiki citra pemerintah yang terkesan jor-joran dalam berutang selama tiga tahun terakhir. Untuk pertama kalinya, pembiayaan utang dalam APBN menurun sejak pemerintahan Jokowi-JK memimpin. Angka Rp399,2 triliun dipatok untuk pembiayaan utang yang akan diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara, Pinjaman Luar Negeri, dan Pinjaman Dalam Negeri, serta untuk membiayai pembangunan infrastruktur melalui pembiayaan investasi.
Pemerintah melalui APBN 2018 berupaya menjaga komposisi utang dalam batas terkendali untuk pengendalian risiko sekaligus menjaga stabilitas perekonomian. Di sisi lain, sikap berjaga-jaga pun dilakukan guna memastikan bahwa pemerintah menjalankan amanat UU Keuangan Negara yang mengatur batas maksimal defisit anggaran sebesar 3 persen dari PDB dan batas maksimal jumlah utang sebesar 60 persen dari PDB. Hal ini menjadi urgen untuk menjaga ‘tiket’ pemerintah menghadapi tahun politik 2019. Sebab jika penerimaan negara tahun depan mengalami shortfall karena perekonomian yang lesu, maka defisit akan semakin melebar dan memaksa pemerintah melakukan pinjaman baru. Bukan tidak mungkin pelebaran defisit tersebut akan melebihi batas maksimal yang diatur UU yang selanjutnya dapat mengancam citra pemerintahan Jokowi-JK.
Pada akhirnya, APBN yang sejatinya disusun untuk kepentingan rakyat sulit dilepaskan dari kepentingan politik. Sebab instrumen fiskal tersebut pun pada dasarnya merupakan ‘produk politik’ karena dilahirkan dari proses tawar-menawar angka dan kebijakan antara eksekutif dan legislatif.
Terlepas dari besar atau kecilnya pengaruh politik terhadap keleluasaan APBN, pemerintah harus tetap mengarusutamakan kepentingan rakyat dan senantiasa berpedoman pada sasaran pembangunan baik dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah tahunan yang harus dipenuhi pemerintah tetap sama; mewujudkan APBN yang kredibel, transparan, dan akuntabel untuk kesejahteraan yang merata dan berkesinambungan.
Referensi
- Informasi APBN 2018. Direktorat Jenderal Angggaran, Kementerian Keuangan, Jakarta.
- Informasi APBN 2017. Direktorat Jenderal Angggaran, Kementerian Keuangan, Jakarta.
- UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
semoga lebih baik perekonomian kita di tahun ini
makasih admin artikelnya sangat membantu