wacana-tax-amnesty-ruu-pengampunan-pajak

Wacana Tax Amnesty: Menyimak Usulan Menko Luhut Tentang Rekening Gendut

Pada 28 November 2015, Republika menurunkan berita berjudul “Luhut: Pemilik Rekening Gendut Tidak Usah Dihukum”. Usulan ini cukup menarik perhatian di tengah wacana tax amnesty mengingat pemerintah bersama DPR sedang menyiapkan RUU Pengampunan Pajak. Menurut Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, para pejabat pemilik rekening gendut tidak usah dihukum tapi cukup dikenai pajak yang tinggi. Mengutip Republika, usul itu dilontarkannya saat menghadiri rilis hasil survei indeks persepsi publik atas tindak pidana pencucian uang di kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Jakarta, Jumat (27/11) yang juga dihadiri Plt. Wakil Ketua KPK Johan Budi.

“Pak Johan, (pemilik) rekening gendut itu tidak (usah) dihukum tapi bayar pajak saja. Ya sudah kita ampuni,” kata Luhut yang ditujukan pada Plt. Wakil Ketua KPK Johan Budi.

Namun, Johan tidak menanggapi. Pasalnya, usul ini jelas berbeda dengan sikap KPK yang selama ini terus berusaha menelusuri asal muasal kekayaan para pejabat pemilik rekening gedut.

Bagi Luhut, pemungutan pajak tersebut sudah menunjukkan sikap tegas negara untuk para pejabat yang memiliki rekening gendut tapi sulit dijerat pidana. Pilihan ini lebih baik ketimbang pemilik rekening gendut dibiarkan saja.

“Ya sudah tarik garis awal di sini, dilakukan klarifikasi, pembayaran pajaknya,” ujar Luhut.

Ditambahkan Luhut, jumlah pajak yang ditarik untuk pemilik rekening gendut itu bisa berkisar 15 persen. Selain itu, mereka juga harus dikenakan penalti atas kepemilikan harga yang tidak dijelaskan asal-usulnya.

Menyimak wacana pajak yang disampaikan Luhut, Muhammad AS Hikam, salah satu tokoh NU, menyampaikan pendapatnya. Dengan judul “Menyimak Usulan Menko Luhut Tentang Rekening Gendut”, AS Hikam mengunggah pendapatnya tersebut di laman feacbooknya. Berikut kutipan pendapat AS Hikam soal wacana pengampunan pajak.

Menyimak Usulan Menko Luhut Tentang Rekening Gendut

Pemimpin dan penguasa adalah kategori yang mirip tetapi secara substantif tidak sama. Mirip, karena keduanya mungkin berada pada posisi yang sama, yaitu pihak yang memiliki pengaruh terhadap pihak lain. Tidak sama karena menjadi pemimpin memerlukan bukan saja legitimasi legal dan politik, tetapi juga moral dan etik. Penguasa, umumnya sudah cukup dengan legalitas dan pengaruh politik. Itulah sebabnya, mengapa kendati seseorang berada dalam posisi elit dan berpengaruh serta perintahnya diikuti, tetapi ia tidak memiliki kualitas sebagai seorang pemimpin. Apalagi pemimpin negarawan. Dalam kategori yang disebut terakhir ini, diperlukan kualitas tambahan, yakni kemampuannya untuk mendahulukan kepentingan negara ketimbang partai, kelompok, keluarga, dan pribadi.

Pandangan Menko Polhukam, Luhut Panjaitan (LP), bahwa pemilik rekening gendut tidak perlu dihukum tetapi cukup diminta membayar pajak saja sebagai penyelesaian terhadap pelanggaran hukum yang mereka lakukan, dapat dicermati dari perspektif di atas. LP menampilkan dirinya lebih sebagai seorang penguasa ketimbang sebagai pemimpin, apalagi pemimpin negarawan. Solusi LP adalah solusi pragmatis, jangka pendek, dan cenderung berorientasi kepada kepentingan kelompok, bukan kepentingan bangsa dan negara yang sedang melakukan upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Jika dilihat hanya dari sisi legalitas dan politis, maka pandangan LP punya nalar dan argumentasi serta hasil yang efektif. Bahkan, bukan tidak mungkin para pemilik rekening gendut akan berbondong-bondong mendaftar untuk membayar pajak asalkan mereka tidak kena hukuman. Dan solusi itu sangat cepat jika “harga” yang ditawarkan disepakati.

Namun jika pandangan LP dikaji dari perspektif kepentingan negara dalam jangka panjang dan pembangunan karakter serta bangsa, plus tilikan dari sisi etik, maka akan sangat berbeda. Cara seperti ini bisa mendorong pada permissivisme dan bahkan pelecehan terhadap penegakan hukum, serta mendidik warganegara untuk tidak memikirkan masa depan bangsa dan negaranya. Demikian pula, pendekatan semacam itu akan berdampak buruk kepada upaya membangun rule of law yang berperi keadilan. Sebab kebijakan yang mengistimewakan para pemilik rekening gendut tersebut jelas tidak akan berlaku bagi para penjahat yang biasa. Rasa keadilan kemudian bisa dikonversi dengan uang, dan ini akan menciptakan sinisme di kalangan warganegara yang tidak memiliki kemampuan seperti pemilik rekening gendut.

Kebijakan seperti yang diusulkan LP juga akan sangat berbahaya bagi NKRI, karena negeri ini kemudian tidak lagi berpijak pada landasan etika Pancasila, setidaknya landasan “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam sila ke 2. Pragmatisme yang mungkin efektif pada tataran instrumental dan jangka pendek, pada akhirnya akan menghancurkan fondasi etik di atas mana kehidupan bernegara kita didirikan, ditegakkan, dan dipertahankan. Dengan kata lain, jika pendekatan LP ini diadopsi oleh para penyelenggara negara, khususnya aparat penegak hukum, maka hemat saya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia akan terjerumus dalam sebuah jurang kehancuran.

Bangsa dan Negara ini bukan cuma memerlukan para penguasa, tetapi juga para pemimpin dan negarawan.

, , ,

Comments are closed.