pajak-progresif-atas-tanah

Pajak Progresif Tanah

Pemerintah berencana mengenakan pajak progresif atas tanah yang tidak produktif. Tanah yang dimiliki namun tidak digunakan untuk kegiatan produktif, akan dikenai pajak yang lebih tinggi. Alasan pemikiran Menteri Keuangan adalah untuk meningkatkan aktivitas ekonomi. Tanah yang menganggur, hanya dimiliki sebagai alat investasi, cenderung menghambat aktivitas ekonomi. Dampaknya akan membuat kesenjangan pendapatan kaya dan miskin semakin jomplang. Seringkali malah tanah menganggur dimanfaatkan oleh spekulan untuk meraih untung dengan mempermainkan harga. Sehingga ketika pemerintah atau pihak lain ingin menggunakan tanah kosong itu menjadi terhambat oleh harga yang melambung tinggi. Diharapkan jika tanah yang semula kosong, dimanfaatkan untuk kegiatan produktif atau dibangun untuk infrastruktur, akan dapat menjadi sumber ekonomi baru. Multiplier effect-nya nanti ke lapangan pekerjaan baru dan kegiatan ekonomi lainnya. Permasalahan ini hendak diatasi oleh pemerintah dengan menggunakan instrumen pajak. Jelas argumentasi ini masuk akal dan mempunyai niat yang baik. Namun apakah akan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang dikehendaki?

Pajak dan Perubahan Perilaku

Secara teori, instrumen pajak dapat digunakan untuk mengubah perilaku masyarakat. Biasanya yang dituju adalah perilaku yang bersifat negatif seperti konsumsi minuman mengandung alkohol atau tembakau. Maka sering disebut sebagai pajak dosa (sin tax). Ada juga yang dikenai atas konsumsi barang tertentu yang mempunyai negative externatility, seperti pajak atas konsumsi BBM atau ban kendaraan bermotor (excise tax). Negative externatility maksudnya, produksi atau konsumsi barang tertentu dapat mengakibatkan biaya atau kerugian bagi orang lain yang tidak ikut mengkonsumsi. Sejarah mencatat beberapa negara pernah mengenakan pajak atas soft drink, permen karet, pajak jendela, anak tangga, bahkan pajak atas jenggot. Semuanya dimaksudkan untuk mengubah perilaku tertentu dari masyarakat yang menurut pemerintah pada saat itu tidak disukai.

Dalam ilmu ekonomi, apalagi yang menganut supremasi pasar, sebenarnya dimaklumi bahwa setiap pengenaan pajak pada hakikatnya akan menjauhkan kita dari titik optimal pemanfaatan sumber daya (-tidak pareto optimal). Apalagi kalau yang dikenakan adalah pajak langsung terhadap produksi atau konsumsi tertentu (biasanya diterapkan dalam bentuk pajak atas transaksi). Setiap intervensi terhadap mekanisme pasar, termasuk pengenaan pajak, pasti berdampak inefisiensi terhadap total utilitas masyarakat. Besarnya inefisiensi ini biasa dikenal dengan istilah deadweight loss, atau kerugian yang diderita jika dihitung secara total dari semua pihak yang terlibat, yaitu penjual, pembeli, dan pemerintah. Namun tentu saja pajak sangat diperlukan untuk penerimaan negara atau untuk mengubah perilaku tertentu yang tidak disukai. Karena itu diperlukan argumentasi yang sangat kuat untuk meyakini bahwa suatu perilaku yang disasar tersebut memang tidak baik, dan lebih penting lagi bahwa diyakini pengenaan pajak akan mampu mengubah perilaku tersebut secara efektif dan efisien.

Kalau kita lihat dari contoh jenis pajak yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku di atas, ada satu kesamaan di antaranya yang sangat penting untuk diperhatikan. Yaitu bahwa objeknya harus spesifik dan mudah diidentifikasi. Hal ini sangat penting agar jangan sampai bias dalam pengenaan pajaknya di lapangan. Karena niat baik dari suatu ketentuan pajak sekalipun, jika sulit diimplementasikan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, akan berakhir mengecewakan. Jangan sampai besar pasak dari tiang misalnya, biaya untuk mengenakan pajak secara efektif ternyata lebih besar dari hasil yang diperoleh karena tingkat kesulitan yang tinggi untuk diterapkan dan diawasi (tidak efisien). Sudah menerima konsekuensi deadweight loss, tujuan baik yang diharapkan pun tidak tercapai.

Spekulasi dan Tanah Menganggur

Maksud seseorang membeli tanah atau bangunan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua. Pertama untuk digunakan sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha (tidak untuk dijual kembali). Kedua sebagai komoditas perdagangan termasuk investasi (suatu saat akan dijual). Pengusaha property yang membangun dan menjual, atau pengusaha yang semata-mata jual beli property termasuk yang kedua. Tentu perilaku yang hendak disasar oleh pemerintah untuk dikenakan pajak progresif bukan yang pertama. Jika dipakai untuk tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha tidak akan dikenakan pajak progresif. Yang dimaksudkan sebagai komoditas perdagangan pun masih harus dipilah, antara tujuan spekulatif atau tidak. Seseorang yang bukan pengusaha property tetapi membeli property  lebih banyak dari yang akan ditinggali atau digunakan usaha mesti menjadi sasaran utama beleid baru ini. Tetapi pengusaha property pun sangat mungkin membeli property semata untuk tujuan spekulatif. Sangat jamak ditemui bahwa pengusaha property memiliki land bank yang besar dan secara factual terlihat dianggurkan. Bahkan juga ada perusahaan yang sengaja didirikan hanya untuk menguasai suatu lahan property. Hal ini dengan mudah dapat terlihat dari neraca keuangannya. Selama bertahun-tahun laba rugi perusahaan ini tidak terlihat aktivitas yang signifikan, tetapi dalam neracanya terdapat daftar asset yang signifikan dalam bentuk lahan kosong. Sebaliknya seseorang yang membeli rumah bukan untuk tujuan spekulatif pun dapat saja kembali membeli rumah kedua atau ketiga tanpa ada maksud spekulasi. Misalnya karena pertambahan anggota keluarga, pindah domisili, anak kuliah di kota lain, atau karena alasan lain. Jadi cukup sulit untuk menarik garis tegas yang membedakan tujuan spekulatif atau tidak dari pembelian property ini.

Pada satu sisi, pemerintah sedang menggalakkan program perumahan layak bagi semua lapisan masyarakat. Tentu naiknya harga jual rumah akibat dari pengenaan pajak baru tidaklah diinginkan. Satu karakter yang penting diperhatikan adalah bahwa hanya masyarakat pada lapisan penghasilan di atas saja yang dapat membeli rumah, sebanyak untuk digunakan atau lebih banyak dari yang akan digunakan (untuk investasi atau tujuan spekulatif). Tanpa intervensi dari pemerintah, masyarakat pada lapisan penghasilan rendah tidak akan pernah mampu menyisihkan penghasilannya untuk membeli rumah. Jangan sampai niat baik dari rencana pengenaan pajak progresif ini justru semakin mempersulit masyarakat penghasilan rendah untuk memiliki rumah.

Secara teori memang dimaklumi bahwa pengenaan pajak dapat mengubah perilaku seseorang akibat naiknya risiko dari perilaku tersebut (setelah pengenaan pajak). Seseorang spekulan membeli tanah karena yakin nanti dapat dijual kembali dengan harga lebih tinggi setelah dikurangi biaya yang dikeluarkan. Meskipun dikenai pajak, spekulan tetap akan beraksi selama dia yakin harga jualnya nanti masih tetap lebih tinggi lagi meskipun sudah dikurangi biaya-biaya termasuk pajak. Kalau sang spekulan tidak yakin bahwa dalam target waktu tertentu harga jual tanahnya tidak akan naik tinggi, dia tidak akan berani membeli tanah untuk tujuan spekulasi. Artinya apa? Sesungguhnya permasalahan utamanya adalah pada kenaikan harga tanah yang tidak dapat dikontrol alias melambung terus. Secara teori kenaikan harga terjadi karena pertumbuhan permintaan yang melebihi pertumbuhan penawaran. Untuk melawannya tentu ada dua cara: turunkan permintaan atau naikkan penawaran. Menurunkan permintaan itu berkaitan dengan faktor demografis. Menaikkan penawaran dengan menyediakan perumahan yang layak dengan harga yang terjangkau. Kedua solusi ini sama saja tidaklah mudah dan semestinya dilakukan secara komprehensif, sinergis, dan berkesinambungan.

Mengingat permasalahan kesenjangan kaya miskin yang hendak diperangi pemerintah sebagai sasaran dari rencana pajak progresif ini, perlu dikaji lebih mendalam untuk memastikan bahwa pengenaan pajak itu nanti dapat mencegah perilaku spekulatif. Apabila harga masih naik tinggi terus melebihi harga beli ditambah biaya-biaya termasuk pajak, maka aksi spekulasi tetap akan merajalela.

Kemudian juga apa yang dimaksud lahan yang menganggur? Rumah misalnya. Suatu keluarga membeli rumah pertama untuk ditinggali tentu tidak dapat dikatakan menganggur. Di sisi lain, keluarga lain yang sudah mempunyai rumah, lalu membeli rumah lain dan tidak ditinggali ataupun disewakan, semata-mata berniat hendak menjualnya kembali pada harga yang lebih tinggi, dapat dikatakan menganggur. Tetapi dimana batasannya? Apakah jika rumah itu kosong tetapi ketika ditanya pemilik rumah menjawab hendak disewakan, berarti tidak menganggur? Atau pemilik rumah itu membayar seseorang untuk merawat rumah itu dan datang membersihkan hanya sekali dalam seminggu? Bahkan ada juga orang yang membeli properti untuk disewakan dengan meminjam uang ke bank. Itu dilakukan dengan keyakinan bahwa bunga bank tidak lebih tinggi dari kenaikan harga jual property. Property ini jelas tidak dapat dikatakan menganggur. Tetapi tidakkah ini sebaiknya juga menjadi sasaran rencana pajak baru ini untuk mengurangi kesenjangan kaya miskin? Khususnya untuk tujuan pemerataan kepemilikan rumah?

Lahan kosong juga sama peliknya. Bagaimana mengidentifikasi dengan jelas lahan menganggur dengan yang bukan? Apakah cukup dengan adanya pembersihan lahan dan dipagari? Atau cukup ditanami singkong? Banyak masyarakat yang membeli kavling kosong terlebih dahulu dengan maksud akan dibangun kemudian setelah mempunyai uang lagi. Bagaimana dengan lahan perkebunan atau pertambangan misalnya? Pada sektor perkebunan dan pertambangan lazim dikenal adanya areal produktif dan areal tidak produktif. Apakah areal tidak produktif ini dapat digolongkan sebagai lahan yang menganggur? Selain itu ada juga areal emplasemen, areal belum produktif, dan areal lainnya. Dimana batasan lahan menganggur dengan yang tidak menganggur? Suatu perusahaan pertambangan bisa saja mendapat IUP eksplorasi atas suatu lahan namun secara faktual tidak ada aktivitas nyata yang dilakukan hingga bertahun-tahun. Beberapa di antaranya memang kemudian menjual hak IUP tersebut kepada pihak lain. Tidakkah lahan ini dapat digolongkan sebagai lahan yang menganggur? Sekali lagi, dimana batasnya?

Pajak atas Tanah dan Bangunan

Hingga saat ini kita belum tahu secara rinci bagaimana aturan pengenaan pajak progresif ini akan diberlakukan. Diberitakan bahwa Kementerian Keuangan masih melakukan pembahasan bersama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta pihak terkait lainnya. Namun dikatakan bahwa aturannya akan segera ditetapkan dan berlaku dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Apabila benar nanti diterapkan, tentu dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat banyak, bukan hanya pengusaha sektor properti saja, namun juga masyarakat umum yang membutuhkan tempat tinggal.

Bila kita lihat ketentuan pajak atas tanah dan/atau bangunan yang sekarang berlaku, ada beberapa jenis pajak yang mungkin dikenakan. Yaitu pajak penghasilan, BPHTB, PPN, dan PBB. PPh dan PPN adalah pajak pusat, sedangkan BPHTB dan PBB (Pedesaan dan Perkotaan) adalah pajak daerah. PPh, BPHTB, dan PPN dikenakan satu kali saja pada saat transaksi jual beli dilakukan. Sedangkan PBB dikenakan setiap tahun sekali. Secara umum Pajak penghasilan (final) dikenakan kepada penjual dengan tariff 2,5% dari nilai bruto transaksi. PPh final maksudnya tidak perlu lagi diperhitungkan dalam perhitungan pajak penghasilan tahunan. BPHTB dikenakan kepada pembeli dengan tarif 5% dari nilai bruto transaksi. PPAT atau Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak setelah diserahkan bukti pembayaran PPh dan BPHTB-nya. PPN dipungut oleh penjual dari pembeli, untuk disetor ke kas negara, dengan tariff 10% dari nilai bruto transaksi. PPN hanya dikenakan jika penjual adalah Pengusaha Kena Pajak. Jadi jual beli property seken atau bekas oleh masyarakat umum, biasanya tidak dikenakan PPN. Kemudian jenis pajak yang terakhir, PBB dikenakan kepada pemilik atau yang menguasai suatu properti dengan tarif paling tinggi 0,3% dari NJOP, bervariasi tergantung daerahnya.

Dari keempat jenis pajak itu, tidak satupun yang bersifat progresif. Bahkan secara teori, terutama untuk PPN, dapat bersifat regresif. Regresif maksudnya beban pajak yang ditanggung oleh orang yang berpenghasilan rendah lebih besar dari yang ditanggung oleh orang yang berpenghasilan tinggi. Sehingga tidak sesuai untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu mengurangi kesenjangan kaya dengan miskin.

Mengingat tujuan dari rencana pengenaan pajak progresif yang dikehendaki pemerintah di atas, tentu pihak yang akan disasar sebagai penanggung beban pajak adalah pembeli, bukan penjual. Di antara keempat jenis pajak di atas, secara teori, PPh dimaksudkan untuk menjadi tanggungan penjual, bukan pembeli. Sedangkan BPHTB, PPN, dan PBB dimaksudkan untuk menjadi tanggungan pembeli.

Pajak penghasilan pada hakikatnya dimaksudkan untuk memajaki penghasilan seseorang. Namun dalam hal pajak penghasilan dikenakan atas transaksi yang dilakukan, sebagaimana PPh final yang sekarang berlaku, secara teori beban PPh dapat digeser oleh penjual kepada pembeli. Sharing beban pajak antara penjual dan pembeli ini akan tergantung kepada elastisitas permintaan dan penawaran yang membentuk harga di pasar. Jika elastisitas permintaan lebih rendah daripada elastisitas penawaran, maka sharing beban pajak pada pembeli akan lebih besar daripada penjual. Tetapi jika sebaliknya, elastisitas permintaan lebih tinggi daripada elastisitas penawaran, maka sharing beban pajak pada penjual yang akan lebih tinggi daripada pembeli. Kondisi ini tentu tidak ideal untuk mencapai tujuan yang diharapkan pemerintah. Karena itu perlu dihitung terlebih dahulu berapa elastisitas permintaan dan penawaran. Melihat realita tingginya kenaikan harga tanah secara terus menerus, dapat diterka bahwa elastisitas permintaan masih lebih rendah dari elastisitas penawaran. Apabila ditambah dengan pengenaan pajak progresif, jenis pajak ini diharapkan dapat secara efektif mencapai sasaran yang dikehendaki. Nah cuma sekarang apa yang hendak dijadikan basis bagi pengenaan tarif progresifnya? Apakah jumlah property yang terjual dalam satu tahun misalnya? Atau nilai rupiah penjualan? Agak kontradiktif bukan?

PPN memang ditujukan untuk menjadi tanggungan pembeli, bukan penjual. Namun karena PPN juga mengenal tarif tunggal dan bersifat objektif, jenis pajak ini tidak akan efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Alih-alih progresif, karena karakternya ini, PPN malah lebih bersifat regresif.

Kemudian BPHTB. Secara hakikatnya pun, karena dimaksudkan untuk memajaki perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, BPHTB dimaksudkan menjadi beban pembeli. Namun karena dikenakan pada saat transaksi, sama seperti PPh final, beban pajak dapat digeser ke penjual. Secara administrative mungkin BPHTB progresif lebih mudah diterapkan daripada PPh final progresif. Mungkin dengan meniru pengenaan pajak progresif pada kendaraan bermotor. Perolehan hak pertama kali dikenai tariff pajak lebih rendah dari perolehan hak yang kedua kali. Perolehan hak kedua kali dikenai tariff lebih rendah dari yang ketiga kali. Demikian seterusnya. Atau dapat juga dilakukan dengan mengenakan tariff progresif atas besarnya nilai perolehan hak. Semakin tinggi nilai nya, semakin tinggi pula tarifnya. Tentu hal ini tidak mudah diterapkan, mengingat karakter masyarakat antar daerah di Indonesia sangat berbeda. Harga tanah hunian kelas menengah di Jakarta sekitar 10 juta per meter persegi. Di kota-kota besar lainnya sekitar 2-5 juta. Di kota-kota kecil mungkin di bawah satu juta per meter. Bahkan di pedesaan mungkin di bawah 100 ribu per meter perseginya.

PBB progresif sepertinya lebih efektif untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Terutama karena dikenakan setiap tahun atas kepemilikan atau penguasaan, sehingga lebih bersifat sebagai sunk cost. Tentu dengan melakukan beberapa penyesuaian untuk menerapkan karakter progresif tadi. Namun mengingat PBB dan BPHTB adalah pajak daerah. Tentu diperlukan koordinasi yang sangat besar dari seluruh daerah di Indonesia, agar pengenaannya dapat dilakukan secara efektif.

Atau bisa saja dengan membuat pajak yang sama sekali baru, di luar dari empat jenis pajak di atas. Syarat utama untuk pengenaan ini adalah adanya database nasional dalam system online. Sehingga dapat mengenali mana perolehan hak (atau kepemilikan) yang pertama kali, kedua kali, dst. Dengan sistem yang ada sekarang misalnya, pemberian NJOPTKP atau NPOPTKP pada PBB dan BPHTB belum bisa optimal karena permasalahan sistem database yang belum akurat. Basis pengenaannya pun musti dipertimbangkan apakah individu atau keluarga? Kriteria apa yang dimaksud sebagai menganggur? Batasannya apa? Bagaimana mengurangi kemungkinan bias dalam pelaksanaan di lapangan?

Penutup

Melihat uraian di atas, kita bisa memaklumi bahwa rencana penggunaan instrumen pajak progresif pada tanah menganggur tidaklah mudah. Isu yang mirip juga sekarang sedang dibahas di Inggris dan Amerika Serikat misalnya. Baru-baru ini saja, Inggris dan Amerika Serikat merubah ketentuan perpajakannya atas penghasilan dari penyewaan property (landlord tax). Semula berbasis net profit (dikenakan setelah mengurangkan biaya-biaya) menjadi gross profit (khususnya untuk melarang pembebanan biaya bunga pinjaman atas pembelian properti).

Tujuan dari rencana pengenaan pajak progresif atas tanah menganggur ini memang mulia. Namun tantangan utamanya adalah bagaimana merancang peraturan ketentuan yang tepat, mengeksekusi di lapangan, dan pengawasannya. Khususnya terkait dengan menarik garis batas yang jelas antara menganggur dengan yang tidak. Jangan sampai terdapat banyak grey area sehingga malah memunculkan abuse of power dari otoritas pelaksana ketentuan ini kelak. Ingat, selain untuk tujuan penerimaan dan merubah perilaku, tujuan ketiga yang tidak dapat dilupakan dari pemungutan pajak adalah tujuan keadilan.

Karena itu sangat diharapkan adanya kajian akademis yang memadai sebelum ketentuan baru ini diberlakukan. Ada beberapa usul yang mungkin dapat diselipkan untuk lebih mendapat rasa keadilan pajak atas tanah ini. Misalnya mengenakan pajak atas selisih harga jual dari NJOP. Atau mengenakan pph atas pengalihan hak karena waris atau hibah kepada keluarga sedarah di atas nilai tertentu.

, , , , , , ,

Comments are closed.