membangun-manusia-adalah-kunci-membangun-institusi

Manusia, Institusi dan Bangsa

Oleh Boediono

Suatu kebahagiaan bagi saya hari ini dapat berdiri di mimbar ini, bertatap muka dengan civitas academica dan para wisudawan Universitas Paramadina. Konon di lembaga inilah kita jumpai visi dan pemikiran Dr. Nurcholis Madjid, Cak Nur, tumbuh dan bersemi.

Sewaktu Bapak Rektor menyampaikan undangan kepada saya beberapa waktu lalu, beliau berkata: “Mengenai topiknya, terserah Pak Boed.” Terimakasih Pak Rektor. Itu membuat tugas saya lebih mudah.

Sebelum saya lanjutkan, pada hari yang membahagiakan ini saya ingin menyampaikan selamat kepada seluruh wisudawan. Kerja keras Anda hari ini berbuah hasil. Anda akan memasuki tahapan baru dalam perjalanan hidup Anda yang hampir pasti tidak akan lebih ringan daripada apa yang Anda alami selama masa studi Anda. Anda memasuki dunia nyata yang penuh dengan peluang dan sekaligus tantangan. Saya doakan Anda semua sukses.

Saya juga ingin menyampaikan selamat kepada Universitas Paramadina, yang telah memberi bekal kepada para wisudawan yang saya harapkan bermanfaat bagi perjalanan karier mereka. Saya akan mengawali ceramah saya ini dengan sebuah ceritera, ceritera nyata. Kisahnya saya ambil dari sebuah buku yang terbit tiga tahun lalu, yang berjudul Why Nations Fail karangan dua ahli ekonomi-politik, Daron Acemoglu dari MIT dan James Robinson dari Harvard.

Begini ceriteranya. Nun di perbatasan Amerika Serikat dengan Meksiko ada sebuah kota namanya Nogales. Kota ini unik karena terbelah dua oleh pagar yang menandai perbatasan dua negara. Bagian utaranya adalah bagian dari Arizona, Negara bagian Amerika Serikat, sedangkan bagian selatannya adalah bagian dari Sonora, negara bagian Meksiko. Sejarahnya kembali ke abad 19 mengapa satu kota terbelah dua dan menjadi bagian dari dua negara yang berbeda. Tapi kita tidak perlu ke situ.

Yang perlu kita catat adalah bahwa, dengan sumber alam yang tidak berbeda dan mayoritas penduduk yang lahir dari nenek moyang yang sama, kondisi kehidupan di kedua bagian kota itu saat ini sangat berbeda.

Di bagian utara rata-rata penghasilan rumahtangga mencapai $30 ribu per tahun, sedangkan di sebelah selatan hanya sekitar $10 ribu. Di utara mayoritas penduduk dewasa lulusan SMA, di selatan mayoritas tidak punya ijasah SMA dan bahkan banyak remajanya yang tidak mengenal sekolah. Di banding dengan Nogales utara, Nogales selatan penduduknya mempunyai harapan hidup yang lebih pendek, harus puas dengan pelayanan kesehatan yang lebih buruk, sehari-hari harus menghadapi kondisi jalan rusak dan prasarana lain penopang kehidupan yang tidak memadai dan kehidupannya dihantui rasa was-was karena tingkat kriminalitas yang tinggi.

Dari kisah itu pertanyaan yang langsung muncul di benak kita adalah: apa penyebab utama perbedaan kondisi kehidupan yang menyolok di dua bagian kota ini? Untuk menjawabnya kita harus melihat lebih dalam lagi. Yang kita jumpai adalah bahwa di Nogales selatan perangkat-perangkat publik yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga umumnya mempunyai kinerja yang lebih buruk daripada di Nogales utara. Politiknya kotor, pemerintahan setempat tidak peka pada kebutuhan warga, birokrasinya lamban dan banyak mengutip pungutan, lembaga penegak hukumnya tidak bersih. Inilah penyebab utama perbedaan taraf hidup di kedua belahan kota tersebut.

Untuk mengejar Nogales utara, bagi Nogales selatan hanya ada satu-satunya jalan, yaitu memperbaiki kinerja lembaga-lembaga yang saya sebut tadi. Kisah seperti itu tidak unik Nogales. Kita menjumpai kisah serupa bila kita membandingkan: Korea Utara dengan Korea Selatan, atau di masa lalu, Jerman Barat dengan Jerman Timur dan barangkali satu daerah dengan daerah lain di tanah air, meskipun kontrasnya tidak akan setajam kisah-kisah antar negara tersebut.

Pesannya satu: kinerja lembaga-lembaga publik – yang untuk singkatnya saya sebut Institusi -menentukan kesejahteraan bangsa. Pandangan bahwa kunci kemajuan bangsa adalah dengan membangun Institusinya , akhir-akhir ini nge-trend di kalangan ahli pembangunan.

Mari kita coba mengerti lebih dalam peran Institusi ini melalui sebuah analogi. Sebuah komputer mempunyai perangkat keras dan perangkat lunak. Keduanya harus bekerja sinkron dan saling menunjang. Suatu masyarakat memiliki jaringan jalan, jembatan, gedung-gedung, pabrik-pabrik, pembangkit listrik, lahan pertanian, jaringan irigasi, tambang-tambang, armada kapal, kereta api dan lain-lain. Itu semua adalah perangkat keras atau hardware masyarakat itu. Ia juga punya lembaga-lembaga publik atau Institusi yang merupakan perangkat lunak atau software masyarakat.

Baik hardware maupun software itu harus ada dan diperlukan agar kehidupan masyarakat berjalan. Pada komputer, software yang memberi perintah kepada hardware . Analog dengan itu, Institusi menentukan bagaimana infrastruktur, lahan, pabrik-pabrik dimanfaatkan. Tidak hanya itu, Institusi memberikan rambu-rambu bagi kegiatan seluruh manusia warga masyarakat. Institusi adalah “otak” yang mengatur kehidupan masyarakat. Jadi tidak heran bila Institusi merupakan penentu utama kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa.

Mari kita masuk lebih dalam lagi ke anatomi sebuah institusi. Setiap institusi publik pada hakekatnya terdiri dari dua unsur pokok, yaitu (a) satu set aturan main dan (b) manusia-manusia yang melaksanakan aturan itu. Hakekat suatu institusi bukanlah gedung megah yang menaunginya, bukan pula berbagai peralatan canggih yang ada disana, bahkan bukan pula keberadaan fisik manusia-manusia yang bekerja disana. Kinerja suatu institusi ditentukan oleh kualitas dua komponen intinya tadi, yaitu kualitas aturan mainnya dan kualitas manusia pelaksananya.

Saya ingin tekankan kepada Anda semua bahwa membangun institusi jauh lebih rumit daripada mendirikan pabrik, membangun infrastruktur, atau membuka lahan pertanian dan tambang. Mengapa? Karena membangun benda-benda nyata seperti itu hanya tunduk pada satu hukum, yaitu hukum ilmu fisika.

Membangun institusi sama sekali lain. Institusi harus mengakar pada, dan tumbuh dari kultur dan kenyataan sosial yang ada di negara itu dengan segala keunikannya. Membangun institusi lebih mirip dengan menanam pohon, yang harus dicocokkan dengan keadaan tanah dan iklim yang ada. Berbeda dengan infrastruktur dan perangkat keras lain, Institusi tidak bias sekedar dijiplak dari negara lain. Ia harus ditumbuhkan di lingkungan sosial nyata di negeri ini dan oleh tangan kita sendiri. Institutions must be homegrown.

Sekarang kita lebih siap untuk menjawab pertanyaan penting, yaitu bagaimana seyogyanya membangun Institusi dan apa saja yang harus diprioritaskan. Marilah kita kembali ke pengertian dasar dari institusi. Sebuah institusi pada hakekatnya terdiri dari dua komponen: (a) satu set aturan main dan (b) sekelompok manusia yang melaksanakan aturan main tersebut.

Nah, dalam definisi ini ada satu hal yang penting untuk kita sadari, yaitu bahwa aturan main itu sendiri adalah hasil karya dari manusia – apakah itu undang-undang, peraturan pemerintah dan aturan-aturan dibawahnya atau anggaran dasar perusahaan dan asosiasi dan aturan-aturan dibawahnya atau aturan-aturan lain yang mengikat publik – semua adalah produk pikiran manusia. Jadi, pada analisa akhir, inti dari setiap institusi adalah manusia. Manusia adalah building blocks institusi. Kinerja suatu institusi ditentukan oleh mutu manusia pembuat aturan mainnya dan mutu manusia pelaksana aturan main tersebut. Itulah jawabannya: langkah yang paling mendasar untuk membangun Institusi adalah membangun manusia.

Sampai disini barangkali Anda berkata: “Ah, itu sih kita semua tahu, bahwa faktor manusia sangat penting dalam pembangunan. Tidak ada hal yang baru!” Tapi sabar, tunggu dulu. Apa yang saya sebutkan tadi memang suatu kebenaran yang mendasar. Dan nasib dari setiap kebenaran biasanya begini – sering diucapkan dan diagungkan dalam pidato, talkshow ataupun diskursus ilmiah, sangat sering dan bahkan terlalu sering, sehingga akhirnya kita justru kehilangan kepekaan terhadap makna dan urgensinya. Kita menganggap bahwa dengan mengulang-ulang menyebutnya, kebenaran itu akan terwujud dengan sendirinya tanpa upaya untuk mengerti lebih dalam dan tanpa kerja keras.

Membangun manusia untuk membangun institusi menuntut kerja keras dan langkah-langkah yang konsisten dan berkesinambungan dalam rentang waktu panjang, melintas generasi. Tuntutan ini sering tidak klop dengan siklus tahunan anggaran dan siklus politik lima tahunan. Dalam kehidupan berdemokrasi dan berpolitik di dunia nyata, permasalahan jangka panjang sering tersisih oleh masalah-masalah “mendesak” yang terus menerus datang. Tanpa kita sadari kita terperangkap dalam dunia yang serba jangka pendek – short-termism. Kita merasa tidak sempat lagi untuk mengalokasikan waktu dan perhatian untuk memikirkan masalah-masalah mendasar jangka panjang – masalah-masalah yang akhirnya menentukan apakah bangsa kita akan tetap eksis lima puluh tahun, seratus tahun, dua ratus tahun lagi.

Benar, kita tidak pernah berpangku-tangan membangun manusia. Harus kita akui bahwa sudah banyak program untuk itu, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Tapi program dan kebijakan yang benar-benar efektif, terfokus dan terpadu untuk menciptakan manusia-manusia Indonesia yang unggul dan siap untuk menghadapi tantangan bangsa, saya harus mengatakan bahwa kita belum punya.

Perspektifnya harus antar generasi. Dalam berbagai kesempatan lain saya menyampaikan bahwa suatu bangsa akan maju apabila setiap generasi mampu menciptakan generasi penerusnya yang lebih unggul. Oleh karena itu fokus dan titik berat program dan kebijakan di bidang pendidikan dan kesehatan haruslah pada generasi muda. Saya juga menekankan bahwa program dan kebijakan pendidikan dan kesehatan tidak boleh berjalan sendiri-sendiri.

Langkah-langkahnya harus terpadu untuk mendukung satu tujuan bersama, yaitu mengembangkan potensi jasmani-rohani anak-anak Indonesia sejak di rahim ibu sampai, setidaknya, mereka menginjak masa remaja. Sasarannya adalah membentuk manusia-manusia Indonesia baru yang unggul. Pada umur yang menentukan perkembangan jasmani-rohani anak ini program-program itu harus dilaksanakan dengan keterpaduan dan intensitas yang maksimal. Apabila kita lalai atau terlambat, kita akan melahirkan generasi yang kerdil secara fisik maupun mental – generasi yang mengalami stunting ! Jelas mereka bukan generasi yang mampu membawa bangsa ini maju ditengah kompetisi antar bangsa yang semakin tajam.

Akhir-akhir ini kita sangat dirisaukan oleh adanya berita yang bertubi-tubi mengenai kasus kekerasan terhadap anak dan berbagai praktek perampasan hak-hak anak. Saya menduga lebih banyak lagi kasus yang terjadi tapi tidak dilaporkan. Kita jelas terganggu secara moral. Tapi kita makin merasa terganggu karena kita menyadari bahwa tindak kejahatan terhadap anak-anak mengacaukan upaya kita membangun bangsa.

Oleh karena itu, pendidikan, kesehatan dan perlindungan anak harus menjadi Trilogi Pembangunan Generasi Muda kita. Idealnya, ke depan setiap anak yang baru lahir di negeri, tanpa kecuali, ini harus mampu dijangkau program terpadu ini. Mencetak manusia-manusia Indonesia baru yang unggul adalah langkah paling mendasar untuk membangun Institusi. Tapi itu saja tidak cukup. Mereka harus diorganisir sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan kinerja Institusi yang optimal.

Dua ribu lima ratus tahun lalu filsuf Yunani kuno Aristoteles mengatakan bahwa masyarakat yang baik (ia memakai istilah masyarakat yang “adil” – a just society ) adalah masyarakat yang semua komponennya berada di tempat yang seharusnya –termasuk manusia-manusianya, mereka menduduki posisi yang paling sesuai dengan bakat dan kemampuannya. The right person in the right place . Inilah prinsip meritokrasi. Bersama dengan pembangunan manusia meritokrasi merupakan prasyarat mutlak – sine qua non – untuk membangun Institusi yang efektif.

Meritokrasi tidak datang dengan sendirinya. Realitanya di negara-negara yang sedang membangun, justru banyak hambatan kultural, sosial, ekonomi dan politik yang menghadang upaya penegakan meritokrasi. Demokrasi pun tidak menjamin terwujudnya meritokrasi. Demokrasi membantu, tapi bukan prasyarat, terwujudnya meritokrasi. Kuncinya satu: adanya kemauan politik dan komitmen yang kuat dari elit bangsa untuk menegakkan meritokrasi di institusi-institusi publik dan itu diwujudkan dalam program dan kebijakan nyata yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Ada satu contoh untuk ini yang patut disebut: Singapura.

Saya sampai pada bagian akhir dari ceramah saya ini. Sebagai penutup saya akan mengajukan pertanyaan berikut ini: Mengingat kita tidak mungkin membenahi semua institusi sekaligus, institusi-institusi mana yang seyogyanya diprioritaskan?

Menurut pengamatan saya atas pengalaman dari berbagai negara, ada tiga kelompok institusi publik yang perlu diprioritaskan pembenahannya karena mempunyai dampak luas bagi pembangunan institusi-institusi lain. Institusi-institusi itu berada di ranah politik, birokrasi dan hukum. Dari ketiganya, institusi politik adalah yang paling mendasar karena melalui proses politik lah sebagian besar aturan main yang menyangkut publik dibuat. Birokrasi juga kita prioritaskan karena lembaga ini adalah pelaksana lapangan aturan-aturan tersebut. Sedangkan lembaga hukum penting untuk mengawal pelaksanaan aturan-aturan tersebut agar tetap dalam rel kebenaran dan keadilan.

Marilah kita bahas secara singkat masing-masing. Politik. Dulu pernah ada ungkapan “politik adalah panglima”. Ungkapan ini tidak terlalu salah karena di negara modern politik adalah sumber utama dari aturan-aturan yang mengikat publik. Institusi politik harus yang paling pertama dibenahi karena ia adalah hulunya dari pembuatan aturan-aturan publik. Sebaik apapun institusi-institusi pelaksana, yaitu birokrasi dan lembaga hukum, masyarakat tidak akan menikmati hasilnya apabila aturan-aturan yang dibuat dari awal tidak baik.

Institusi politik semestinya diisi oleh putra-putri terbaik bangsa. Di masa perjuangan kemerdekaan dulu the best and the brightest bangsa ini menjadi penjuru perjuangan politik dan karena itu kemerdekaan diraih dengan gemilang. Di masa setelah itu nampaknya bangsa kita kesulitan untuk mempertahankan standar masa sebelumnya, dan kita menyaksikan konsekuensinya. Salah satu sebabnya, di alam kemerdekaan terbuka banyak opsi lain yang lebih menarik bagi the best and the brightest kita. Barangkali saja memang ada kebenarannya sinyalemen yang mengatakan bahwa semangat berkorban generasi-generasi pasca revolusi untuk kepentingan yang lebih besar, untuk kepentingan publik, untuk melayani publik, public spirit mereka, memang merosot.

Dari pengamatan saya, saya harus mengatakan bahwa demokrasi – apalagi demokrasi yang masih dalam tahap konsolidasi – tidak menjamin putra-putri terbaik bangsa berduyun-duyun masuk politik. Keengganan putra-putri terbaik untuk masuk politik dan membenahi kehidupan politik tidak boleh berlanjut, karena dampaknya akan fatal bagi bangsa.

Plato, guru Aristoteles, mengingatkan kita begini: “One of the penalties for refusing to participate in politics is that you end up being governed by your inferiors.” Terjemahan bebasnya: “Apabila anda enggan aktif dalam politik, jangan kaget bila nanti anda diperintah oleh orang-orang yang kualitasnya lebih rendah daripada anda.”

Birokrasi. Institusi birokrasi penting karena sebaik apapun aturan mainnya, tidak akan pernah diperoleh hasil yang baik apabila aparat pelaksananya memble. Masalahnya sama: bagaimana kita bisa menarik orang-orang terbaik masuk birokrasi dan memanfaatkannya untuk perbaikan kinerja institute ini. Birokrasi adalah barometer utama pelaksanaan meritokrasi. Sekarang ini menjadi pegawai negeri bukan pilihan teratas dari the best and the brightest kita. Reformasi birokrasi menyeluruh perlu agar tercipta lingkungan yang pas bagi mereka untuk mengabdikan bakat dan kemampuannya bagi kepentingan publik.

Disini pun demokrasi tidak menjamin terwujudnya birokrasi yang baik dan ia pun bukan pula prasyarat bagi berhasilnya reformasi birokrasi. Kuncinya, sekali lagi, adalah tekad politik dan komitmen elit bangsa yang diwujudkan dalam program dan kebijakan nyata yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Harus pula diingat bahwa reformasi birokrasi bukan program yang tuntas dalam satu masa kabinet, tapi rangkaian langkah pembenahan yang konsisten dan berkesinambungan antar kabinet.

Hukum. Hukum (law) sangat erat kaitannya dengan ketertiban sosial (order). Makanya, ungkapan “law and order” selalu disebut dalam satu nafas. Penerapan hukum yang baik menjamin terciptanya social order, penerapan hukum yang tidak baik dipastikan akan melahirkan social disorder. Sejarah bangsa-bangsa mencatat bahwa terpeliharanya ketertiban sosial atau social order adalah prasyarat berjalannya dan berlanjutnya proses kemajuan bangsa.

Coba kita simak cuplikan sejarah berikut ini. Di abad 18 ada dua revolusi yang terjadi hampir besamaan: revolusi Amerika (1776) dan revolusi Perancis (1789). Keduanya bercita-cita mulia, yaitu mengganti orde lama yang tidak adil dan opresif di negara masing-masing dengan orde baru yang berlandaskan demokrasi, kebebasan dan persamaan.

Namun dalam perjalanannya kedua revolusi itu ternyata menapak trayektori yang sangat berbeda. Revolusi Amerika berlanjut dengan perjalanan panjang menuju pembentukan negara demokrasi yang mapan, sedangkan revolusi Perancis setelah sepuluh tahun berjalan, berakhir dengan munculnya Napoleon Bonaparte sebagai Kaisar.

Mengapa? Ada berbagai faktor yang menyebabkan perbedaan trayektori itu. Tetapi yang paling penting, menurut hemat saya, adalah adanya perbedaan mendasar dalam bagaimana hokum diterapkan dalam perjalanan revolusi itu. Sejak awal para tokoh revolusi Amerika menginginkan sistem hukum Inggris, yang sangat mengedepankan “due process of law”, diadopsi di negara baru mereka. Mereka dari awal sibuk menyempurnakan dan membangun fondasi baru bagi sistem hukum lama yang dinilai cukup baik.

Para tokoh revolusi Perancis menginginkan sistem hukum lama yang ada dijebol dan diganti dengan sistem yang samasekali baru yang sesuai dengan cita-cita revolusi. Karena berbagai sebab, dalam perjalanannya revolusi Perancis menjadi makin radikal. Kebencian rakyat terhadap para aristokrat dan mereka yang terkait dengan orde lama dibiarkan menjadi motivasi dan penggerak penerapan hukum. Kekacauan hukum terjadi. Pada masa yang disebut Reign of Terror, 1791-92, banyak orang dikirim ke gilotin tanpa due process of law. Kekacauan sosial, social disorder, terjadi. Rakyat mulai mendambakan kembalinya kedamaian dan ketertiban sosial. Maka muncullah sosok orang kuat, Napoleon Bonaparte, yang mampu mengembalikan social order. Perancis berterimakasih dan memberikannya kekuasaan absolut. Inilah pelajaran sejarahnya: Penerapan hukum yang tidak ditambatkan pada due process of law, yang tidak mengutamakan kebenaran dan keadilan, yang didasarkan pada kebencian, melahirkan social

disorder. Dibutuhkan seorang diktator untuk mengembalikan social order. Dan revolusi yang mencita-citakan demokrasi justru akhirnya melahirkan otokrasi.

Kisah sejarah ini semestinya menjadi pengingat bagi kita betapa pentingnya mengawal penerapan hukum yang adil, betapa pentingnya pembangunan institusi hukum dan betapa pentingnya putra-putri kita terbaik bersedia masuk dan terlibat penuh dalam upaya kita membenahi dan membangun hukum di tanah air.

Saya akhiri ceramah saya ini dengan mengulang kesimpulan-kesimpulan utama kita.

  1. Kunci dari kemajuan bangsa adalah pembangunan Institusi.
  2. Kunci dari pembangunan Institusi adalah pembangunan manusia, terutama generasi muda, dan penegakan meritokrasi.
  3. Pembangunan Generasi Muda dicapai melalui Trilogi Pembangunan bidang Pendidikan, Kesehatan dan Perlindungan Anak.
  4. Pembenahan institusi seyogyanya diprioritaskan untuk bidang politik, birokrasi dan hukum.
  5. Kunci keberhasilannya terletak pada niat dan komitmen elit bangsa.

Putra-putri terbaik bangsa harus bersedia dan berani terlibat langsung dalam upaya pembenahan tersebut. Saya hanya sekedar bisa membayangkan, seandainya Cak Nur masih bersama kita, apa kira-kira nasehat beliau kepada para wisudawan, kepada seluruh generasi muda Indonesia, kepada elit bangsa dalam menyikapi tantangan-tantangan besar bangsa itu.

Terima kasih. Selamat bekerja.

Sumber: Materi Kuliah umum di Universitas Paramadina, 24 Oktober 2015 oleh Boediono, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia.

, , , ,

Comments are closed.