penerimaan-pajak-dan-defisit-anggaran

Bagaimana Reformasi Perpajakan Dapat Mengontrol Defisit Anggaran?

Sektor perpajakan merupakan salah satu penerimaan negara yang mempunyai peran penting dalam APBN selain PNBP dan Laba BUMN. Melalui optimalisasi penerimaan perpajakan, pemerintah dapat melaksanakan kegiatan belanja sesuai yang ada dalam dokumen pelaksanaan anggaran yang sudah disetujui bersama DPR. Untuk membiayai kegiatan belanja tersebut dibutuhkan optimalisasi penerimaan negara agar defisit tidak melebar.

Dalam komponen APBN, penerimaan negara sektor perpajakan sangat dominan dibanding penerimaan sektor lain. Pada tahun 2015 realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp1.240.418,5 miliar atau 83,3 persen dari target APBNP tahun 2015, sementara realisasi penerimaan perpajakan tahun 2016 mencapai Rp1.784.249.9 miliar atau 86,2% dari target APBNP tahun 2016, dan target penerimaan perpajakan tahun anggaran 2017 mencapai Rp1.736.256.7 miliar atau 85,6% dari APBNP tahun 2017, dengan tax ratio diperkirakan mencapai 11,5% lebih rendah jika dibandingkan dengan tax ratio tahun 2017 sebesar 12,9%. Sehingga untuk mencapai target tax ratio 12,9% perlu adanya reformasi perpajakan, mengingat belanja negara yang terus meningkat dan menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap stabil.

Sejak tahun 2015 pemerintah kabinet kerja terus menekankan pembangunan infrastruktur, mengurangi tingkat kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan juga kesenjangan antar wilayah. Hal ini sebagai indikator bahwa kontrol defisit anggaran tidak hanya dilakukan melalui optimalisasi penerimaan negara tetapi juga diperlukan adanya efisiensi belanja. Seringkali penyerapan anggaran terjadi dominan pada kuartal IV atau akhir tahun, sehingga belanja negara kurang optimal dan masih banyak ditemui kurangnya pembayaran kepada pihak ke tiga. Jika hal ini diantisipasi dengan melaksanakan rincian belanja lebih awal atau bulan november sebelum tahun anggaran berjalan setelah DIPA disahkan, maka penyerapan anggaran bisa lebih optimal di awal tahun dan lebih efisien. Sehingga proyeksi defisit dan penerimaan negara dapat terlihat lebih pasti untuk mengurangi resiko adanya revisi APBN tahun anggaran berjalan, meskipun revisi APBN tidak hanya di lakukan ketika terjadi perubahan total penerimaan dan belanja negara, tetapi juga memperhatikan perubahan kerangka ekonomi makro dan juga pokok-pokok kebijakan fiskal.

Sementara itu, realisasi defisit APBN-P tahun 2015 mencapai 2,56%, realisasi defisit APBN-P tahun 2016 mencapai 2,46%, dan defisit APBN tahun 2017 di perkirakan mencapai 2,41%. Defisit tersebut dikarenakan kurangnya efisiensi belanja yang dilakukan oleh pemerintah selain karena penerimaan negara yang masih jauh dari target yang sudah ditentukan sebelumnya dalam APBN. Sehingga seringkali pemerintah melakukan revisi terhadap APBN.

Seperti yang diamanahkan UU nomor 17 tahun 2003 bahwa defisit anggaran tidak boleh melebihi 3 persen dari APBN tahun anggaran berjalan dan juga tidak boleh lebih dari 60 persen dari PDB negara Indonesia. Sehingga masalah defisit perlu mendapat perhatian khusus pemerintah di tengah pembangunan nasional yang terus digalakkan.

Sementara itu, pemerintah perlu menjaga celah fiskal agar defisit tidak melebar. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah terus melakukan reformasi penerimaan sektor perpajakan dan PNBP dengan melakukan revisi UU dan juga  menerapkan kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan negara namun tetap menjaga iklim investasi, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak terhambat dengan adanya kebijakan tersebut.

Hingga saat ini penerimaan perpajakan masih mendominasi APBN hingga mencapai 83,33%. Dibandingkan dengan penerimaan lainnya PNBP dan laba BUMN, perpajakan menjadi tumpuan dalam pembiayaan pembangunan nasional. Namun sering kali penerimaan sektor perpajakan mengalami shortfall dari target yang sudah ditentukan. Kepatuhan wajib pajak orang pribadi dan badan, reformasi birokrasi struktur organisasi DJP, penambahan objek pajak, penguatan hukum, pengawasan terhadap wajib pajak orang pribadi dan badan, serta sejumlah kebijakan yang diterapkan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan tax ratio dari 12% menjadi 16%.

Penguatan dan perluasan basis data dilakukan pemerintah dengan melakukan perbaikan digitalisasi SPT dan implementasi e-SPT, e-Filling, implementasi e-tax invoice secara menyeluruh dan implementasi cash register serta electronic data capturing (EDC) yang online dengan sistem administrasi perpajakan. Pengawasan WP-OP dan WP badan di sejumlah sektor unggulan terus dilakukan dengan menerapkan tarif yang tidak merugikan wajib pajak yang sudah membayar pajak dengan benar dan patuh. Penegakan hukum mulai dari pemblokiran rekening, penyitaan aset, pencekalan hingga penyanderaan bagi wajib pajak yang melanggar aturan perpajakan juga perlu dikuatkan. Pemerintah juga berupaya membuka data perpajakan melalui perjanjian kesepakatan dalam program Automatic Exchange of Information (AEoI) yang pelaksanaanya dimulai pada tahun 2018 dengan semua negara yang tergabung dalam KTT G-20.

Semua langkah tersebut dilakukan mengingat DJP telah memberikan waktu 9 bulan untuk memberikan kesempatan bagi wajib pajak yang belum melaporkan harta kekayaanya baik di dalam maupun di luar negeri melalui program Tax Amnesty (pengampunan pajak). Berdasarkan data yang dimiliki sistem administrasi DJP pada tahun 2015 tercatat 30.044.103 wajib pajak yang terdiri atas 2.472.632 WP Badan, 5.239.385 WP orang pribadi dan 22.332.086 WP OP karyawan. Hal itu sungguh memprihatinkan, mengingat menurut survey BPS pada tahun 2013 perusahaan industri besar-sedang yang beroperasi  23.941, perusahaan industri kecil 531.351, dan 2.887.015 perusahaan industri mikro di Indonesia. Artinya, belum semua perusahaan terdaftar sebagai WP Badan.

Selain dorongan dari pemerintah, diperlukan kesadaran wajib pajak dalam memberikan kontribusi terhadap negara dengan patuh membayar pajak. Sementara itu, saat ini pemerintah tengah mengkaji penambahan objek pajak dan cukai, serta penerapan program KITE oleh DJBC Kemenkeu dalam rangka mempermudah kegiatan ekspor impor di Indonesia. Beberapa tambahan objek pajak dan cukai yang menjadi bahan kajian yaitu cukai plastik, mengingat keberadaan bahan pkastik yang susah diuraikan dan merusak lingkungan serta mengakibatkan pencemaran tanah. Dengan adanya kebijakan pengenaan cukai plastik ini diharapkan konsumsi plastik akan berkurang. Hampir di setiap objek wisata terutama pantai di penuhi dengan adanya sampah plastik, sehingga kurang menarik bagi wisatawan untuk mengunjunginya. Selain itu, DJP Kemenkeu juga akan mengkaji pajak mengenai eksplorasi pertambangan di Indonesia yang seringkali tidak tepat sasaran karena permasalahan kepemilikan tambang yang dikelola baik orang pribadi maupun badan usaha. Dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan penerimaan perpajakan dapat tercapai sesuai target, dan pembangunan nasional dapat berjalan optimal serta berkelanjutan.

Referensi:

Realisasi Penerimaan Negara 2015 Capai Rp1.495,5 Trilyun 

http://www.kemenkeu.go.id/apbnp2015

http://www.pajak.go.id/penerimaan-pajak

Nota Keuangan 2015, 2016, dan 2017

APBN-P 2015, APBN-P 2016, dan APBN-P 2017

, , , , , ,

Comments are closed.