debt-to-equity-ratio-der-pmk-169

Akuntansi Pajak: Debt to Equity Ratio

Dasar Hukum

  • Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.

  • Penjelasan Pasal 18 ayat (1):

Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung.

Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.

  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 169/PMK.010/2015 Tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan.

Catatan:

Sebelum Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor-169/PMK.010/2015 tersebut terbit, sebelumnya telah terdapat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang mengatur besaran perbandingan antara utang terhadap modal. Ketentuan tersebut termuat dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Pada KMK tersebut ditetapkan rasio maksimal utang terhadap modal adalah 3:1.

Namun ketentuan tersebut ditunda pelaksanaannya sesuai dengan KMK-254/KMK.05/1985 tentang Penundaan Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Hutang Dan Modal Sendiri Untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Praktis sejak 1985 tidak ada pengaturan batasan rasio utang terhadap modal. Rasio hutang terhadap modal ( debt to equity ratio / DER ) diatur kembali dengan PMK-169/PMK.010/2015. Ketentuan mengenai DER ini mulai berlaku tahun 2016 mendatang.

Berikut ini resume ketentuan DER sesuai PMK-169/PMK.010/2015.

Debt to Equity Ratio ( DER )

  • Besarnya perbandingan antara utang dan modal adalah paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4: 1).
  • Hutang meliputi utang jangka panjang, utang jangka pendek serta utang dagang yang dibebani bunga.
  • Modal meliputi ekuitas sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa.
  • Nilai utang = rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada tahun pajak atau bagian tahun pajak
  • Nilai modal = rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak atau bagian tahun pajak.
  • DER = Nilai Utang dibagi Nilai Modal

Contoh:

Liabilitas (dalam jutaan rupiah)

contoh-menghitung-debt-to equity-ratio-liabilitasEkuitas (dalam jutaan rupiah)

contoh-menghitung-debt-to-equity-ratio-ekuitasPenghitungan Nilai Utang dan Nilai Modal

contoh-menghitung-debt-to-equity-ratio-pmk-169contoh-menghitung-der-pmk-169contoh-menghitung-der-debt-to-equity-ratio

Nilai DER untuk contoh di atas adalah 6:1

Perlakuan Pajak Terkait DER

Biaya Pinjaman

Biaya yang ditanggung Wajib Pajak sehubungan dengan peminjaman dana dikelompokkan dalam Biaya Pinjaman. Biaya Pinjaman ini meliputi:

  1. bunga pinjaman;
  2. diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
  3. biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);
  4. beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
  5. biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
  6. selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing sepanjang selisih kurs tersebut sebagai penyesuaian terhadap biaya bunga dan biaya sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.

Biaya pinjaman yang dapat dibiayakan harus memenuhi syarat-syarat:

  • biaya terkait dengan hutang tidak melampaui batas DER maksimum. Jika DER melampaui DER maksimal, maka biaya pinjaman yang tidak boleh dibebankan sebesar selisih DER dikali biaya pinjaman. Dalam contoh kasus di atas jika DER 6:1, maka biaya yang dapat dibebankan adalah sebesar 4/6 x biaya pinjaman atau koreksi biaya=2/6 x biaya pinjaman.
  • Jika Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya pinjaman Wajib Pajak bersangkutan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
  • Besarnya biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  • biaya pinjaman atas utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Entitas

Yang Wajib Mengikuti Ketentuan PMK-169 :

Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham.

Yang Dikecualikan Mengikuti Ketentuan PMK-169 :

  1. Wajib Pajak bank;
  2. Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
  3. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
  4. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
  5. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.

Ketentuan Khusus

1. Bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan:

  • Jika dalam kontrak atau perjanjian mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal; ketentuan mengenai perbandingan utang dan modal dimaksud berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian tersebut.
  • Jika dalam kontrak tidak mengatur, maka ketentuan mengenai perbandingan utang dan modal mengikuti ketentuan PMK-169.

2. Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan laporan besarnya utang swasta luar negeri tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak. Jika tidak menyampaikan laporan, maka atas biaya pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena pajak.

, , , , , , , ,

Comments are closed.